.
1. Adab Di Hadapan Allah swt
Termasuk adab yang penting bagi seorang sufi terhadap Allah Haqq adalah mengawasi dirinya secara lahiriah maupun batiniah di dalam semua hal, dan melakukan hal yang sama meskipun berada di hadapan seorang Raja Diraja, mengingat Allah di setiap waktu, memelihara dirinya supaya tetap bersih dan suci, sehingga setiap kali buang angin segera berwudhu, dan selepas wudhu lalu shalat dua raka’at.
Diterima dari Abu Hurairah ra.: Rasulullah bersabda kepada Bilal, “Wahai Bilal, beritahukanlah kepadaku perbuatan paling mulia yang kau kerjakan di dalam Islam, sehingga aku mendengar suara sepatumu di syurga.” Bilal menjawab, “Aku tidak melakukan sesuatu yang ternilai di dalam diriku. Hanya saja kalau bersuci, baik pada waktu malam atau siang, aku melakukan shalat dua raka’at dengan hal itu selama aku dapat melakukan shalat.”(HR. Al Bukhari dan Muslim).
Dia tidak bermunajat kepada Allah kecuali mulutnya bersih, tidak mengeluarkan bau yang tidak sedap, sebab selalu menjaga pemakaian siwak, baik pada waktu doa, shalat, maupun menyebut nama Allah.
Abu Yazid ra. Berkata, “Aku tetap melakukan sejak tiga puluh tahun yang lalu, setiap kali ingin menyebut Allah terlebih dulu berkumur, dan mencuci lidahku. Untuk menghargai Allah yang hendak ku sebut."(Abu Nu'aim, Hilyah, vol. 1 hal. 15.)
Pun tidak menjulurkan kaki ketika sedang berada di mihrab. Berkatalah ‘Abdullah Al Jurairi, “Selama dua puluh tahun aku tidak pernah menjulurkan kakiku saat duduk di dalam khalwat, kerana kesempurnaan adab terhadap Allah adalah hal yang ku utamakan.”('Abdul Karim Al Qusyairi, Ar Risalah Al Qusyairiyyah, vol. 2 hal. 56.)
Diriwayatkan bahwa As Sirri berkata, “Aku pernah mengerjakan shalat dan membaca wirid pada suatu malam dengan menjulurkan kaki kearah mihrab. Mendadak aku diseru, “Hai Sirri! Seperti itukah kalau duduk bersama Sang Raja?” Aku langsung melipat kakiku dan berkata, “Demi kemuliaan-Mu, aku tidak akan lagi menjulurkan kaki sama sekali.” Al Junaid berkata, “Maka selama enam puluh tahun, As-Sirri tidak pernah menjulurkan kakinya, baik pada waktu malam maupun siang.”(Abu Nu'aim, Op. cit., vol. 1 hal. 35.)
Telah tertera pula bahwa Rasulullah saw. bersabda:“Makanlah sebagaimana makannya seorang hamba, dan duduklah seperti duduknya seorang hamba.” (HR. Abu Ya’la, Ibnu Hibban, dan Al Hakim di dalam At Tarikh).
Dikatakan Al Muhasibi tidak pernah duduk dengan bersandar di dinding, dan tidak duduk di suatu tempat kecuali dengan sikap rendah hati.
Diriwayatkan bahwa Abu Ad Daqqaq tidak pernah bersandar kepada sesuatu. Pada suatu hari ketika dia berada di dalam sebuah kelompok, seseorang menaruh bantal di belakang punggungnya. Dia pun bergeser sedikit, lalu membayangkan bahwa dia sudah terhalang dari bantal tersebut. Karena tidak ada sarung bantal atau sajadahnya, akhirnya dia berkata, “Aku tidak mau bersandar.”('Abdul Karim Al Qusyairi, Op. cit., vol. 2 hal. 559)
Dia menjauhkan dari hadhirat Allah apa yang ingin dijauhkannya dari yang lain. Maka dari itu, dia tidak mau duduk di tempat yang dia sendiri tak suka orang lain duduk di situ. Dia tidak mau bertelanjang, dan melarang orang lain melakukannya meski ke tempat mandi, karena berpegang kepada sopan santun terhadap Allah. Dia tidak suka mendustai dirinya sendiri, tidak berlebihan dalam makan dan minum ketika sendirian, tidak mau berbuat dosa kendati di tempat sepi dan hanya dosa kecil. Apabila memintakan keperluannya kepada Allah, pertama kali diucapkannya terima kasih kepada-Nya karena telah mengutus kekasih-Nya, Muhammad saw., baru kemudian mengajukan permohonannya. Allah berfirman:
Maka ingatlah nikmat-nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.(Al A’raaf: 69)
Dari Fudhalah bin ‘Ubaid ra., katanya: “Nabi saw. mendengar seseorang berdoa di dalam shalatnya tanpa membaca shalawat baginya. Nabi saw. pun bersabda, “Ini terburu-buru.” Kemudian beliau memanggil orang itu dan bersabda kepadanya serta kepada orang-orang lain, “Apabila salah seorang dari kamu mendirikan shalat, maka mulailah dengan memuji dan mengagungkan Allah, lalu membaca shalawat bagi Nabi saw., baru setelah itu mintalah apa yang diperlukan.”(Diriwayatkan oleh Ash-habu As Sunan dengan sanad shahih)
Abu Sulaiman Ad Darani berkata, “Barangsiapa ingin memohon suatu kehendak kepada Allah, maka mulailah dengan membaca selawat bagi Nabi saw., lalu mengutarakan kehendaknya, dan mengakhirinya dengan selawat bagi Nabi saw. Niscaya Allah akan menerima dua selawatnya, dan Dia lebih pemurah daripada meninggalkan apa yang ada di antara kedua selawat itu.”(Muhammad bin Muhammad Al Ghazali, Ihya' 'Ulum Ad Din, vol. 1 hal. 307.)
2. Merendahkan Diri Dan Merasa Kurang Dari Allah.
Perlu diketahui bahwa di dunia ini tidak ada wujud kecuali Tuhan dan hamba. Maka seorang sufi mesti merasakan keagungan rububiyah dan kehinaan dirinya, serta menempatkan diri di pintu Tuhannya dengan penuh kehinaan, kefakiran, ketenangan, dan keperluan, sekaligus menjadikan sifat ‘ubudiyah sebagai sesuatu yang tetap. Jadi apabila seseorang memohon sesuatu kepada Allah, Allah memberi dengan sifat-Nya, bukan dengan sifat seseorang itu. Bukankah iblis tersingkir dari sifat kesempurnaan dan tidak dapat lagi tinggal di dalam syurga hanya kerana sesuatu sifat? Dia meminta, kemudian diberi apa yang diminta. Katanya setelah terusir:
“Beri tangguhlah saya sampai waktu mereka dibangkitkan.” Allah berfirman, “Sesungguhnya kamu termasuk yang diberi tangguh.”(Al A’raaf: 14-15)
Apakah seorang mukmin yang berakal, akan percaya, bila hanya diberi dengan menyebut Allah, setelah Dia berfirman:
Sesungguhnya kutukan-Ku tetap menimpamu sampai hari pembalasan.(Shaad: 78)
Namun dia diberi dengan sifat-Nya yang baik, sebab Allah merasa malu kalau dimintai sesuatu sesuatu menolaknya dengan hampa, sebab Allah adalah Maha Pemurah dan Maha Memberi tanpa janji, dan kalaupun berjanji pasti akan ditepati.
Di antara kata-kata mereka, “Kalau engkau mengarahkan hati kepada Allah, maka menghadaplah kepada-Nya dengan keadaan benar-benar fakir dan hina.
Allah berfirman: Sesungguhnya Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu (ketika itu) adalah orang-orang yang lemah. (Ali ‘Imran: 123)
Maka tidaklah seseorang meminta sesuatu kepada-Nya kecuali dengan berserah diri dan mengembalikan ilmu kepada-Nya, bukan dengan menyibukkan diri di dalam kenikmatan sampai mengabaikan Sang Pemberi Nikmat.
Berkatalah Abu Yazid Al Busthami, “Aku bertahan di dalam ibadah selama tiga puluh tahun ketika melihat seseorang berkata, “Wahai Abu Yazid, tempat penyimpanannya penuh dengan ibadah. Kalau engkau ingin sampai kepada-Nya, mintalah dengan merendahkan diri, rasa kekurangan, dan keikhlasan dalam perbuatan.” Dan ini semua tidak dapat terjadi kecuali dengan merenungkan kurnia dan pemberian Allah, disertai kesadaran akan kelemahan dan kehinaan diri sendiri.(Abu Nu'aim, Hilyah, vol. 10 hal. 40.)
3. Meminta Kepada Allah Sesuatu Yang Tidak Layak
Di antaranya adalah:
1. Meminta agar tidak memiliki rasa iri hati (hasad). Sesungguhnya sunnatullah menetapkan bahwa suatu kenikmatan selalu diikui oleh rasa iri. Maka barangsiapa meminta agar tidak memiliki rasa iri, berarti juga meminta agar tidak diberi kenikmatan.
2. Meminta agar dilindungi dari maksiat. Sesungguhnya ishmat tidak dimiliki oleh siapapun kecuali para nabi, maka permohonan seperti itu tidaklah layak baginya. Imam Asy Syadzili berkata, “Barangsiapa menghendaki kemampuan untuk tidak pernah melakukan maksiat kepada Allah, berarti dia ingin menutup dirinya dari ampunan dan rahmat Allah. Berarti pula, tidak ada gunanya syafa’at yang dimiliki Nabi-Nya.
3. Meminta suatu kezaliman untuk dipanjangkan usia. Telah tertera di dalam atsar, “Barangsiapa berdoa bagi kezaliman untuk dipanjangkan usianya, berarti dia suka adanya maksiat terhadap Allah.”
4. Meminta dengan doa “Ya Allah, bersedekahlah kepadaku syurga.” Telah diriwayatkan dari ‘Ali bin Husain bahwa dia berkata, “Janganlah ada di antara kalian yang berkata, ‘Ya Allah, bersedekahlah kepadaku syurga,’ sebab yang mendapatkan sedekah adalah orang-orang yang berbuat dosa. Namun katakanlah, ‘Ya Allah, berilah aku rezeki syurga. Ya Allah, anugerahkanlah kepadaku syurga.”
5. Tidak hanya mengatakan, “Aku memohon ampun kepada Allah dan aku bertaubat kepada-Nya,” tetapi tidak memenuhi hak-Nya.
6. Meminta musibah (bala’) dari Allah. Diriwayatkan bahwa Samnun bin Hamzah bersyair:
“Dan tidaklah aku memiliki pada diri Mu sesuatu maka dengan kehendak-Mu, ujilah aku.”
Kemudian dia mendapatkan cobaan tidak boleh buang air kecil. Maka dia pun berkeliling di bangku–bangku pejabatnya seraya berkata, “Berdoalah untuk pamanmu yang pendusta ini…” ('Abdul Karim Al Qusyairi, Ar Risalah Al Qusyairiyyah, vol. 1 hal. 133)
Diriwayatkan pula oleh Ibnu ‘Arabi penyebab hal itu, dan dia berkata, “Tatkala Samnun bersikap kurang sopan terhadap Allah dan ingin menentang kekuasaan Ilahi, pada waktu itulah dia menemukan di dalam dirinya hukum ridha dan kesabaran. Allah menguji dirinya sehingga tidak boleh buang air kecil. Maka dia pun menggeliat seperti ular yang kepanasan di atas pasir akibat kurang sopannya. Begitu bertaubat dan diberi kesembuhan, dia pun bersyair:
“Aku rela terhadap besarnya penolakan-Mu terhadap diriku itu semua tak lain adalah kehendak-Mu jua sehingga menguji dengan ketidakpedulian terhadap diriku yang mencintai ketergantungan kepada-Mu.”
Dikisahkan pula bahwa ketika dicobai tidak boleh buang air kecil, dia mencoba bertahan satu hari dan dirasakannya semakin sakit. Dia terus bertahan sampai hari kedua , ketiga, dan keempat, sementara rasa sakit itu semakin tak tertahankan. Pada hari keempat itu, pagi-pagi datanglah seorang dari kawannya, dia berkata, “Wahai tuanku, tadi malam aku mendengar suaramu di tepian sungai Dijla. Meminta pertolongan kepada Allah dan mintalah Dia untuk mengangkat penyakit yang menimpa dirimu.” Orang itu datang kembali untuk yang kedua kali, ketiga kali, dan keempat kali, sementara Samnun tidak melakukan apa yang disarankan olehnya. Kemudian dia pun tersadar bahwa ini adalah isyarat dari Allah, maka dia pun mengitari para pekerjanya seraya berkata, “Berdoalah untuk pamanmu yang pendusta ini…”(Ibnu 'Atha-illah As Sakandari, Latha-if Al Mannan, hal. 188.)
Syaikh Abu’l Hasan Asy Syadzili berkata, “Kasih Allah kepada Samnun mengganti ucapan, “Maka dengan kehendak-Mu, ujilah aku,” dengan, “Maka dengan kehendak-Mu, ampunilah aku.” Sesungguhnya minta ampun adalah lebih baik daripada minta ujian.
Barangkali ada yang berkata, “Berita-berita yang tersebar tentang keutamaan sabar menunjukkan bahwa ujian musibah di dunia lebih baik daripada kenikmatan. Maka layakkah bila kita kemudian meminta musibah?”
Jawabnya, “Tidak ada tuntutan tentang hal semacam itu.
Di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Anas ra. dikisahkan: Rasulullah saw. pernah menjenguk seseorang dari antara muslimin yang bersuara seperti anak burung. Rasulullah saw. bertanya kepadanya, “Apakah engkau berdoa atau memohon sesuatu kepada-Nya?” Dia menjawab, “Ya, saya berkata, ‘Ya Allah, apa yang hendak Kau jadikan di akhirat berikanlah saja di dunia.” Rasulullah saw. bersabda, “Subhanallah! Engkau tidak akan kuat dan tidak akan kuasa menahankannya. Mengapa tidak kau katakan, “Ya Allah, berilah kami kebaikan di dunia dan di akhirat, dan hindarkanlah kami dari siksa neraka.”
Dari Anas ra. juga: Seseorang datang dan bertanya, “Wahai Nabiyullah, doa seperti apakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Mintalah kepada Allah ampunan dan kesehatan di dunia dan akhirat.” Keesokan harinya orang itu datang lagi dan bertanya, “Wahai Rasulullah, doa seperti apakah yang paling baik?” Beliau menjawab, “Mintalah kepada Allah ampunan dan kesehatan di dunia dan akhirat.” Orang itu datang kembali pada hari ketiga, dan beliau tetap menjawab, “Mintalah kepada Allah ampunan dan kesehatan di dunia dan akhirat, karena sesungguhnya apabila engkau dikaruniai ampunan dan kesehatan di dunia dan akhirat, bererti engkau telah berhasil.”
Di dalam Hadith Al-Bukhari & Muslim dijelaskan bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Mintalah perlindungan kepada Allah dari musibah yang berat, penderitaan yang tak henti-hentinya, ketetapan yang buruk, dan tekanan musuh.” Maka Mathraf berkata, “Kini aku lebih suka diberi kesehatan lalu bersyukur, daripada diuji lalu bersabar.”
7. Meminta kesempurnaan ma’rifat akan Allah. Seorang sufi boleh meminta agar diberi ma’rifat akan Allah, tetapi adab yang berlaku hendaknya tidak meminta kesempurnaan ma’rifat tersebut dikeranakan rasa malu dan cemburunya terhadap Penciptanya. Telah diriwayatkan kisah Abu Yazid Al Busthami ra. apa yang berlaku dengan Yahya bin Mu’adz bahwa dia melihat sebuah kejadian antara setelah shalat ‘Isya’ hingga terbit fajar, Abu Yazid berdiri di muka, kakinya diangkat, kedua tangannya di atas tanah, sedangkan dahinya di atas dadanya, memandang dengan matanya tidak berkedip. Dikatakan, “Lalu dia bersujud sampai subuh dan memanjangkan sujudnya, baru kemudian duduk dan berkata, “Ya Allah, ada orang-orang yang meminta kepada-Mu lalu Engkau memberi mereka, bahkan sampai permintaan untuk dapat berjalan di permukaan air dan terbang di angkasa dan mereka rela akan hal itu, sedangkan aku berlindung kepada Allah dari hal itu. Ada orang-orang yang meminta kepada-Mu lalu Engkau memberi mereka harta karun sehingga berubahlah mereka sampai menjadi orang yang terkemuka dan rela akan hal itu, sedangkan aku berlindung kepada-Mu dari hal itu…” sampai menyebutkan lebih dari duapuluh maqam karamah para wali. Kemudian dia menengok kebelakangnya dan berkata, “Yahya?!” Aku menjawab, “Benar, wahai Tuanku.” Tanyanya, “Sejak bila engkau berada di sini?” Jawabku, “Sejak tadi.” Dia terdiam sehingga aku berkata, “Tuanku, ucapkanlah sesuatu,” Jawabnya, “Akan ku ceritakan yang baik kepadamu. Aku dimasukkan ke alam bawah dan dibawa berkeliling di malakut bawah tanah dan di bawahnya. Setelah itu aku dimasukkan ke alam atas dan diajak berkeliling di langit dan diperlihatkan syurga-syurga di dalamnya, sampai mencapai ‘Arsy. Kemudian aku didirikan di bawah kekuasaan-Nya dan dikatakan, “Mintalah dari apa-apa yang kau lihat agar dapat ku berikan kepadamu.” Aku pun menjawab, “Wahai Tuanku, aku tidak melihat sesuatu yang ku anggap indah untuk ku minta kepada-Mu.” Maka dikatakan, “Engkau hamba-Ku yang benar-benar menyembah kepada-Ku dengan benar. Aku akan melakukannya untukmu,…” lalu menyebutkan berbagai hal.” Yahya berkata, “Wahai Tuanku, Anda tidak minta sesuatu? Anda tidak minta ma’rifat akan Dia, sedangkan Sang Raja Diraja berfirman, ‘Mintalah apa yang kauinginkan’?” Dia pun berteriak, “Diam! Itu adalah kecemburuanku kepada-Nya, sehingga aku tak ingin ada yang mengetahui selain Dia.”(Muhammad bin Muhammad Al Ghazali, Ihya' 'Ulum Ad Din, vol. 4 hal. 356.)
4. Menampakkan Kesempurnaan ‘Ubudiyah Dengan Menggugurkan Permintaan, Bahkan Sampai Permintaan Untuk Masuk Ke Syurga Dan Selamat Dari Neraka.
Allah layak disembah karena Dzat dan sifat-sifat-Nya, bahkan andai pun tidak ada syurga dan neraka yang membuat kita diperintahkan untuk meminta syurga-Nya dan berlindung kepada-Nya dari neraka. Penghargaan untuk mengagungkan Dzat-Nya tidaklah karena imbalan amal perbuatan. Maksud saya, amal perbuatan yang mengikuti perintah dan menegakkan ‘ubudiyah, bukan untuk nasib dan tujuan. Di atasnyalah dibangunkan kaidah-kaidah tasawuf, jadi bukan di atas harapan mereka untuk mendapatkan syurga atau rasa takut terhadap neraka. Artinya, bukan hal itu mendorong tegaknya ketaatan dan rutin ibadah, sehingga amal perbuatan bukanlah hasil dan bukan penyebab. Beribadah kepada Allah adalah untuk menjalankan perintah-Nya dan kerana Dia memang layak untuk disembah berdasarkan Dzat dan sifat-Nya. Rasa harap dan takut mendorong ke arah kepatuhan terhadap-Nya dan kerana Dia memang layak untuk diharap dan ditakuti kerana Dzat dan sifat-Nya, kerana Dia berbuat dan memilih sesuai dengan kehendak-Nya sendiri. Dalam hal ini, meminta syurga kepada-Nya atau berlindung dari neraka kepada-Nya dilakukan kerana mengikuti perintah-Nya, sekaligus sebagai wujud pengagungan bagi keagungan-Nya. Oleh kerana itu, permohonan orang-orang yang ‘arif kepada Allah adalah dalam soal kesungguhan di dalam ‘ubudiyah dan penegakan hak-hak rububiyah, tanpa menghiraukan nasib atau kekekalan dirinya.
Abu ‘Ali Ad Daqqaq dalam mentafsirkan ayat:
Dan (ingatlah kisah) Ayyub ketika ia menyeru Tuhannya, “(Ya Tuhanku), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara para penyayang. (Al Anbiyaa’: 83)
Menjelaskan bahwa Ayyub as. Tidak berkata, “irhamni,” kerana memelihara sopan santun dalam berbicara. Demikian pula yang terjadi pada ‘Isa as. tatkala berkata:
Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau. (Al Maidah: 118)
ika aku pernah mengatakannya, maka tentulah engkau telah mengetahuinya. (Al Maidah: 116)
‘Isa as. tidak berkata, “lam aquulu” untuk menjaga sopan santun ketika berhadapan dengan-Nya.
Barangkali ada yang berpendapat bahwa tidak mau meminta sesuatu kepada-Nya adalah bertentangan dengan keperluanbutuhan manusia untuk meminta kepada Allah sebagaimana tertera di dalam Al-Qur’aan dan sunnah, dalam mana Allah berfirman:
Berdoalah kepadaku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. (Al Mu’min: 60)
Menjawab pendapat ini, boleh dijelaskan bahwa yang disebut sebagai hakekat ‘ubudiyah yang disebabkan oleh adanya permintaan adalah merupakan hasil dan akibat, yang menyebabkan kurang sempurnanya penghambaan yang dilakukan. Oleh kerana itu dikatakan bahwa selama seseorang memiliki kehendak tertentu, berarti perjalannannya menuju Allah masih jauh. Yang ditujunya boleh dicapai dengan cara menggugurkan kehendak dan permintaan, dan hanya khusyuk untuk melakukan penyembahan. Maka, barangsiapa menghendaki hal ini hendaknya bekerja keras membenahi akhlaknya dengan sesuatu yang dapat mendekatkan dirinya kepada Tuhannya, yaitu dengan memperbanyakkan amal soleh, dan tidak menyibukkan hatinya dengan permintaan akan sesuatu terhadap Allah maupun sesama makhluk, terlebih bila hal itu bukan merupakan keperluan asasi. Permintaan yang tidak jauh dari hal-ikhwal salik umpamanya adalah meminta rezeki makanan yang boleh dipakainya untuk membantu kekuatan tubuhnya di dalam perjalanan, bukan permintaan untuk melapangkan rezeki tersebut.
Seorang sufi tidak mau mengajukan permintaan karena dia percaya bahwa Allah pasti memberi hal-hal yang memberikan manfaat baginya tanpa diminta. Dia Maha Mengetahui keperluan dan mampu menyampaikannya kepadanya tanpa diminta. Jadi, dia merasa cukup dengan keMahaTahuan-Nya dengan ilmu-Nya. Maka apabila seseorang tidak mau mengajukan permintaan, seharusnyalah dia menempatkan dirinya di dalam ‘ubudiyah dan ketaatan terhadap perintah-Nya, khususnya, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu.”
Ibnu Zukri di dalam Syarh Al Hikam berkata, “Pada umumnya, apa yang diinginkan orang di dunia ini adalah keselamatan dari keburukan, dimudahkan dalam soal rezeki, dan dianugerahi kesehatan badan; sedangkan di akhirat adalah maaf dan ampunan dari dosa, kemenangan dalam mendapatkan surga, serta selamat dari neraka. Di dalam sebagian hadits qudsi, Allah berfirman, “Hamba-Ku, taatilah Aku dalam hal-hal yang Ku perinahkan, dan jangan beri tahu Aku tentang apa yang menjadi keperluanmu.” Kita dapat membandingkan ikhwal dua orang hamba. Yang satu meminta kepada Tuhannya untuk dimaafkan segala kekurangannya, dan dia selalu mengutamakan Tuhannya, memperbanyak kebajikan terhadapnya, sehingga Tuhannya pun bersikap bijaksana kepadanya dan memaafkan segala yang ada pada dirinya. Sedangkan satunya lagi meminta kepada Tuhannya sesuatu yang dapat dipakainya untuk mengabdi kepadanya dan mengagungkan kehormatannya, kemudian dia diizinkan untuk menegakkan hak-haknya dan direlakan untuk berdiri di pintunya. Hamba yang mana yang bernasib baik di sisi Tuhannya? Kepada hal inilah Allah menunjukan firman:
"Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan." (Al Faatihah: 5)
‘Menyembah’ disebutkan lebih dahulu daripada ‘mohon pertolongan’ agar hal itulah yang dilakukan dan menguasai seorang hamba. Maknanya adalah ‘kepada Engkau kami minta pertolongan untuk menyembah-Mu.’
Dinukilkan dari Wahb bin Munabbih sesungguhnya dalam kitab Zabur mengatakan bahwa Allah berfirman, “Dan siapakah yang lebih zalim daripada seseorang yang menyembah Aku karena syurga atau neraka. Seandainya Aku tidak menciptakan syurga atau neraka, tidaklah Aku patut untuk disembah dan ditaati karena keTuhanan-Ku?!” Di dalam akhbar tertera bahwa Nabi ‘Isa as. berkata, “Bila engkau melihat seorang yang bertakwa sibuk meminta kepada Tuhan, maka dia sudah dipengaruhi oleh (permintaan) itu daripada lainnya.”
Pernah pula Nabi ‘Isa as. melewati di depan sekelompok hamba yang menenggelamkan diri ke dalam ibadah sampai seolah lapuk tulang-belulangnya. Dia bertanya, “Siapakah kalian?”
Mereka menjawab, “Kami adalah hamba-hamba Allah.”
Dia bertanya lagi, “Mengapa kalian beribadah kepada-Nya?”
Mereka menjawab, Karena kami takut akan neraka, sebab Allah menakuti kami dengan neraka-Nya.”
Kata Nabi ‘Isa as., “Allah memiliki hak untuk menyelamatkan kalian dari apa yang kalian takuti.”
Nabi ‘Isa as. terus berjalan sehingga melewati sekelompok orang lainnya yang beribadah lebih khusyuk lagi dibandingkan kelompok terdahulu. Dia pun bertanya, “Untuk apa kalian beribadah kepada-Nya?”
Mereka menjawab, “Allah telah membuat kami rindu kepada syurga dan apa-apa yang disediakan di dalamnya untuk para wali-Nya. Itu sebabnya kami pun mengharapkannya.”
Jawab Nabi ‘Isa., “Allah memiliki hak untuk memberikan apa yang kalian harapkan.”
Nabi ‘Isa as. melanjutkan perjalanannya dan menemukan sekelompok orang lagi yang sedang beribadah. Seperti sebelumnya, dia pun bertanya, “Siapakah kalian?”
Mereka menjawab, “Orang-orang yang mencintai Allah. Kami menyembah-Nya tidak kerana takut kepada neraka-Nya dan tidak pula kerana rindu kepada surge-Nya, melainkan hanya karena cinta kepada-Nya dan mengagungkan-Nya karena keagungan-Nya.”
Kata Nabi ‘Isa as., “Kalian adalah sungguh-sungguh wali-wali Allah. Bersama kalianlah aku diperintahkan untuk tinggal.”
Pada suatu ketika Ats Tsauri berkata kepada Rabi’ah Al ‘Adawiyah, “Setiap hamba memiliki syarat (yang harus dipenuhi), dan setiap orang mempunyai iman yang hakiki. Apakah hakekat imanmu?”
Jawab Rabi’ah, “Tidaklah aku menyembah Allah karena takut kepada neraka-Nya sehingga menjadi seperti seorang hamba yang jahat, kalau takut baru mau bekerja. Tidak pula karena surga-Nya sehingga aku menjadi seperti seorang buruh yang buruk, kalau diberi baru mau bekerja. Melainkan aku menyembah-Nya karena cinta dan rindu kepada-Nya.”
Barangkali ada yang berpendapat bahwa perkataan Rabi’ah Al ‘Adawiyah itu bertentangan dengan apa yang tertera di dalam Al Quran yang mulia dan memberi kesan mengecilkan urusan surga dan neraka. Sesungguhnya orang-orang yang beramal seperi telah disebutkan adalah benar-benar hamba Allah. Mereka meminta pahala dari-Nya dan berlindung kepada-Nya dari siksa. Itu sebabnya mereka meminta atau berlindung kepada ketetapan janji Tuhannya. Mereka lari dari seruan nasibnya dan mengikuti permintaan yang disukainya dan diizinkan baginya karena karunia, kebaikan, dan kedermawan-Nya. Dengan begitu, barangsiapa menghendaki Dzat Ilahi dan kesempatan untuk dapat melihat-Nya, sesungguhnya dia telah meminta semua yang ada. Apa yang disediakan oleh Allah untuknya tidak mungkin terlepas darinya.
Abu Madyan ra. berkata, “Perbezaan antara orang-orang yang menghendaki bidadari cantik dan gedung-gedung megah, dengan orang-orang yang menghendaki tersingkapnya hijab terletak pada kesungguhannya dalam ‘ubudiyah. Ini menyangkut perbuatan seperti: menjunjung tinggi adab, berakhlak dengan akhlak yang diajarkan-Nya, dan menegakkan hak-hak Allah, misalnya: bersyukur atas apa yang diberikan, bersabar atas apa yang diujikan, memusuhi orang-orang yang memusuhi-Nya, berbuat baik kepada orang-orang yang baik, meninggalkan pilihan dan rencana tentangnya, terus mendalami keberadaan-Nya, berdiri tegak di pintu-Nya, mengenakan pakaian rendah hati, menampakkan kehinaan dan kefakiran, memasang tali harapan, memakai pakaian rasa takut, dan sebagainya. Itu semua mencerminkan ciri-ciri ‘ubudiyah dan akhlak yang dikehendaki. Barangsiapa jujur menjalankan semua itu, maka janji Allah akan terpenuhi atas dirinya.”
5. Hendak Tidak Membesarkan Amal Perbuatan Sendiri Ataupun Ketaatan Sendiri, Melainkan Membesarkan Kurnia Allah, Dan Tidak Membesarkan Penampilan Kekuasaan Dan Kekuatannya. Melainkan Membesarkan Kekuasaan Dan Kekuatan Allah.
Kalau yang melakukan amal perbuatan adalah Allah, maka bagaimana mungkin manusia hendak menuntut balasan atas perkara itu? Yang manusia dapat menerima hanyalah pemberian semata-mata. Sang Pencipta adalah Allah Yang Maha Tinggi.
Firman-Nya:
Allah Pencipta segala sesuatu. (Az Zumar: 62)
Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat. (Ash Shaffaat: 96)
Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran. (Al Qamar: 49)
Dan kalau amal perbuatan manusia itu ditujukan kepada Allah, maka bagaimana mungkin dia hendak menuntut balasan dari Allah atas perkara itu? Maka yang diterimanya hanyalah pemberian, lalu dia bersyukur kepada Allah atas taufik-Nya. Cukuplah baginya pahala bagi amalannya, tak perlu melakukan apa-apa perbuatan kerana mengharapkan pebagai balasan. Inilah amal yang utama.
Artinya: Bagi-Nyalah segala puji di dunia dan di akhirat. (Al Qashash: 70)
Maka barangsiapa menghendaki keutamaan di sisi Allah, hendaknya dia melakukan amal-amalnya tanpa mengharapkan balasan. Apabila mengingat betapa Allah berfirman melalui malaikat-Nya, kemudian dia patuh, bertakwa, dan beramal, maka patutlah dia merasa malu dan tunduk terhadap Tuhannya Yang Maha Pemurah.
Maka yang wajib dilakukan dalam hal ini adalah mengucapkan doa dengan berkata, “Tuhanku, sebagaimana Engkau utamakan aku dengan menciptakan ketaatan di dalam diriku, menghiasiku dengannya, mensifatkan dengan sifat-sifat yang terpuji, sedangkan pada hakikatnya aku tak memiliki semua itu, sementara Engkau menjanjikan dengan hal itu pahala yang banyak dan keselamatan dari siksa, maka terimalah amal-amalku dan penuhilah janji yang telah Kaujanjikan.”
Bila tidak demikian, tidaklah dapat dibenarkan dan tidak memiliki adab apabila seorang hamba menempelkan atribut-atribut kebaikan sifat yang hakiki di dalam dirinya, padahal dia sama sekali tidak seperti itu. Puncak dari adab yang benar adalah bila seseorang membeberkan amal dan kesalahan-kesalahannya, serta mengakui bahwa hal itu terjadi kerana kebodohan dan kezalimannya.
Sahl bin ‘Abdullah ra. berkata, “Apabila seorang hamba berbuat kebajikan dan berkata, ‘Tuhanku, dengan kurnia-Mu, aku dapat beramal. Dan Engkau menolong serta memudahkan aku untuk bersyukur kepada Mu,’ maka Allah akan menjawab, ‘Wahai hamba-Ku, engkau telah melakukan ketaatan dan mendekatkan kepada-Ku dengan kebaikan.’ Namun apabila seorang hamba berbangga dengan dirinya dengan berkata, ‘Aku beramal, aku taat, dan aku mendekat kepada-Mu,’ maka Allah akan berpaling darinya dan berfirman, ‘Wahai hamba-Ku, Akulah yang member taufik, Akulah yang menolong, dan Akulah yang member kemudahan.’
Di lain pihak, apabila seorang hamba berbuat keburukan dan berkata, ‘Tuhanku, Engkau telah mentakdirkan, Engkau telah menetapkan, dan Engkau menghukum,’ maka Allah akan murka dan menjatuhkan kekuasaan-Nya kepada hamba tersebut, serta berfirman, ‘Wahai hamba-Ku, engkaulah yang berdosa, engkaulah yang bodoh, dan engkaulah yang melanggar.’ Namun apabila seorang hamba berkata, ‘Tuhanku, aku telah menzalimi diriku, aku bersalah dan berdosa, dan akulah yang bodoh,’ maka Allah akan mendatanginya dengan kemegahan-Nya dan berfirman, ‘Wahai hamba-Ku, Aku menetapkan dan Aku menakdirkan, Aku-lah yang mengampuni, Aku yang bermurah hati, dan Aku yang menutupi.”
Kesimpulannya, segala sesuatu itu mengikuti persepsi makhluk, dan penentuannya dilakukan oleh Allah. Bila makhluk menganggap sesuatu sebagai hasil jerih payahnya sendiri dan kerananya, dia berhak atas mendapat kebaikan, maka Allah akan membuatnya mengerti bahwa itu sebenarnya bukan hasil jerih payahnya, melainkan pemberian Allah, sehingga dia harus mengembalikannya kepada Allah serta bebas dari kemampuan dan kekuatan dirinya sendiri, sejalan dengan firman Allah:
Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah. (An Nisaa’:79)
Sedangkan dalam hal keburukan, dia harus melihatnya sebagai hasil perbuatannya sendiri, disertai pengakuan akan kezaliman dan keburukan amal perbuatannya, sejalan dengan firman Allah:
Dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. (An Nisaa’:79)
Asy Syadzili berkata, “Tidaklah engkau menemukan ruh dan pendukung-pendukungnya, lalu menjadikanmu mencapai maqam rijal, sampai hatimu tidak terikat dengan amal perbuatan, semangat, ijtihad, atau keputus asaanmu dari semua selain Allah.”
Mungkin ada yang mengatakan bahwa menolak menggantungkan diri kepada amal perbuatan berarti tidak sejalan dengan bunyi hadits:
“Barangsiapa merasa senang dengan kabaikannya dan bersedih hati dengan kesalahan-kesalahannya, maka dia adalah seorang mukmin.”
Jawaban bagi pendapat ini adalah bahwa perkara itu harus berasal dari pengakuan seseorang itu terhadap perbuatan-perbuatan yang dianjurkan oleh Allah, yaitu ketaatan, dan menganggap jelek hal-hal yang buruk, yaitu maksiat dan kesalahan. Namun perkara tersebut tidak dipandang dari sudut perbuatan seorang hamba, sebab yang dimaksud oleh hadits itu hanyalah bahwa suatu perbuatan itu memberikan sesuatu petanda. Jadi, seorang mukmin senang dengan perbuatannya bukan dari sudut perbuatannya itu sendiri, melainkan dari segi hubungannya dengan Allah, di mana dia diberi taufik dan diciptakan untuk dapat melakukan kebaikan. Di pihak lain, dia menganggap jelek hal-hal yang buruk yang dilakukannya dan bertentangan dengan perintah Allah.
Allah berfirman:
Tiadalah suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhulmahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. (Al Hadiid:22-23)
Katanya, “…lalu aku diserang oleh seorang Turki dan dibaringkan untuk dipenggal kepalaku. Maka hatiku tidak sibuk memikirkan hal itu, melainkan aku memandangnya sebagai keputusan Allah di antara kami berdua. Ternyata begitu dia menghunuskan belati yang dicabutnya dari balik punggungnya, mendadak sebatang panah meluncur tepat menembus jantungnya, sehingga dia pun jatuh dalam keadaan tewas di sisiku.”
6. Hendaklah Tidak Mengeluh Terhadap Tuhannya Sesama Makhluk Apabila Terjadi Sesuatu Yang Buruk, Ditimpa Musibah, Cobaan, Dan Lain-lain
Sebagian orang berkata, "Waspadalah dari mengeluh kepada sesama makhluk tentang penderitaanmu, walaupun sampai terpotong-potong daging tubuhmu." Kelihatannya banyak sekali musibah yang menimpa anak Adam bila kita mendengar keluhannya. Padahal, bagaimana mungkin dia masih boleh mengeluh kepada sesama hamba, tentang Tuhannya yang lebih pengasih daripada kasih ibunya kepadanya? Para sufi berkata, "Tidak semestinya seseorang mengatakan pada musim panas, 'Alangkah panasnya hari ini,' atau keluhan-keluhan lainnya, yang seolah-olah menunjukkan ketidakrelaan terhadap keputusan Allah. Dan jangan pula mencela makanan, sebab mencela ciptaan, sama dengan mencela pencipanya, padahal semua itu diciptakan oleh Allah."
'Ali bin Abi Thalib ra. berkata, "Salah satu wujud pengagungan terhadap Allah dan ma'rifat akan hak-Nya adalah dengan tidak mengadukan sakitmu dan menyebut-nyebut musibahmu."
Sedangkan Al Ahnaf berkata, "Salah satu wujud pengagungan terhadap Allah dan ma'rifat akan hak-Nya adalah dengan tidak mengadukan sakitmu dan menyebut-nyebut musibahmu."
Syaqiq Al Balkhi berkata pula, "Barangsiapa suka mengeluhkan musibahnya kepada selain Allah, dia tidak akan menemukan di dalam hatinya ketaatan yang manis kepada Allah untuk selama-lamanya."
Sebagian lagi berkata, "Termasuk di antara harta kebaikan adalah menyimpan dan merahsiakan musibah atau cobaan."
Ada pula yang berkata:
"Bila engkau ditimpa cobaan, maka bersabarlah
kesabaran itu mulia, sesungguhnya Dia Maha Tahu tentang engkau
Dan jika engkau mengeluh kepada anak Adam, sesungguhnya
engkau telah mengadukan Yang Maha Pengasih kepada yang tidak pengasih."
Dikisahkan bahawa Ja'far Ash Shadiq apabila tertimpa suatu musibah berkata, "Ya Allah, jadikanlah hal itu sebagai adab dan jangan jadikan sebagai amarah," sebab musibah sebenarnya dapat menyucikan seseorang, dapat menjadikan adab baginya, dapat menjadi ujian, dapat menjadi tindakan, dan juga cemuhan.
Berkenaan dengan musibah ini, hendaknya sebelum mengeluhkan terhadap Penciptanya, seseorang mengingat nikmat Allah yang diberikan kepadanya.
Diriwayatkan bahwa seseorang mengadukan kefakirannya kepada seorang yang memiliki bashirah dan menunjukan betapa mendalamnya kesengsaraan yang diakibatkan oleh perkara itu. Maka orang yang memiliki bashirah itu bertanya, “Sukakah engkau bila menjadi buta dan diberi harta sepuluh ribu dirham?”
Dia menjawab, “Tidak.”
Ditanyai lagi, “Sukakah engkau bila menjadi bisu dengan imbalan sepuluh ribu dirham?”
Dia menjawab, “Tidak.”
Ditanyai lagi, “Sukakah engkau bila kedua kaki dan tanganmu kudung dengan imbalan duapuluh ribu dirham?”
Dia menjawab, “Tidak.”
Ditanyai lagi, “Sukakah engkau bila dikatakan sebagai orang gila dengan imbalan sepuluh ribu dirham?”
Dia menjawab, “Tidak.”
Maka dikatakan kepadanya, “Tidakkah engkau malu mengeluhkan terhadap Tuhanmu, sedangkan Dia menitipkan kepadamu sesuatu yang sepadan dengan limapuluh ribu dirham?”
Diceritakan pula bahwa ada seseorang yang sangat berat penderitaannya akibat kefakirannya, sampai dia merasa tak mampu lagi bersabar. Suatu kali dia mimpi, seakan-akan ada yang bertanya kepadanya, “Maukah engkau bila Kami menghapuskan dari ingatanmu hafalan surat Al An’aam, kemudian engkau mendapatkan imbalan seribu dinar?”
Dia menjawab, “Tidak.”
Ditanyai, “Bagaimana kalau surat Huud?”
Dia menjawab, “Tidak.”
Ditanyai, “Bagaimana dengan surat Yusuf?”
Dia menjawab, “Tidak.”
Dikatakan kepadanya, “Kalau begitu, engkau sudah punya seratus ribu dinar, tetapi engkau tetap mengeluh.”
Maka pagi harinya dia pun merasa rela dengan keadaannya.
‘Umar ra. berkata, “Setiap kali musibah menimpa diriku, maka aku melihat Allah memberikan empat kenikmatan di dalamnya, yaitu:
1. Musibah itu menimpa duniaku dan bukan agamaku;
2. Musibah itu tidak lebih dari apa yang terjadi;
3. Sesungguhnya Allah memberiku kecenderungan untuk bersabar atas musibah itu, sehingga mampu memikulnya;
4. Sesungguhnya Allah menyimpan untukku pahala bagi kesabaran atas musibah itu.”
7. Hendaklah Tidak Melontarkan Perkataan Yang Argumentatif Kepada Allah.
Pertama, barangsiapa ingin mengucapkan sesuatu bila teringat akan dosa-dosanya, hendaknya dia menghindari ucapan, “Laa haula wa laa quwwata illah billah” (Tidak ada daya dan tidak pula kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah), sebab ucapan itu mengandung dalih kepada Allah. Hendaknya dia berkata:
“Wahai Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami, dan jika Engkau tidak mengampuni dan memberi rahmat kepada kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi”
“Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menganiaya diriku sendiri dengan kezaliman yang banyak, dan sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.”
Asy Syibli berkata ketika terlanggar tangan Al Junaid, “Laa haula wa laa quwwata illa billah.” Maka berkatalah Al Junaid, “Perkataanmu menunjukkan bahwa engkau sedang merasa sempit dada.” Dia menjawab, “Engkau benar.” Dia berkata, “Kesempian dada itu meninggalkan kerelaan terhadap qadha’.”
Kedua, tidak meminta perlindungan kepada Allah dari sesuatu, melainkan dari keburukan sesuatu.
8. Bersyukur Kepada Allah Atas Nikmatnya Di Dalam Semua Keadaan.
Hakikat syukur adalah mengatur semua nikmat yang diberikan oleh Allah dalam segala sesuatu yang diciptakan oleh-Nya, yang meliputi harta, badan, dan semua kenikmatan lainnya. Syaikh Abu’l Hasan Asy Syadzili berkata, “Syukur adalah pembuka hati dengan kesaksian akan pemberian Allah.”
Dikatakan pula, “Seandainya syaitan mengetahui ada jalan yang menghantarkan kepada Allah yang lebih baik daripada syukur, niscaya dia akan berhenti di situ. Tidakkah kamu melihat bagaimana firman Allah tentang lisan Iblis:
Kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang, dari kanan dan dari kiri. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (kepada Engkau). (Al A’raaf:17)
Sewaktu ditanyai, “Apa yang menandakan orang-orang yang bersyukur itu bersyukur?” dia menjawab, “Bila memiliki ilmu, maka dia memberi penerangan dan petunjuk. Bila memiliki kekayaan, maka dia mengeluarkan dan membelanjakannya unuk hamba-hamba Allah. Bila memiliki kedudukan, maka dia menegakkan keadilan serta menjauhkan hal-hal yang mendatangkan keburukan dan kesulitan bagi orang banyak.”
Dikatakan pula, “Barangsiapa tidak bersyukur atas nikmat, maka dia akan menghadapi kemungkinan hilangnya nikmat tersebut. Dan berhati-hatilah, jangan sampai menjadikan syukurmu bagi dirimu sendiri, tetapi jadikanlah syukurmu sebagai pelaksanaan dari perintah Allah kepadamu untuk bersyukur.”
Allah berfirman:
Bersyukur kepada-Ku. (Luqman:14)
Maka memahami hal ini akan menjadikan seseorang mengetahuinya.
Rabi’ah Al ‘Adawiyah selalu bangun pada setiap malam dan berkata, “Aku bersyukur dengan ibadah pada malamku ini untuk berpuasa esok.”
Sedangkan Iman ‘Ali ra. berkata, “Apabila engkau memiliki kekuasaan atas musuhmu, maka jadikanlah maaf baginya sebagai wujud rasa syukur atas kekuasaanmu atas dirinya.”
9. Mengagungkan Nama Allah Yang Maha Tinggi
Janganlah menyebut Allah kecuali disertai pengagungan, dan tidak ada sesuatu pun kecuali tertulis di atasnya nama-Nya. Telah diriwayatkan bahwa 'Abdullah bin Marwan tak sengaja menjatuhkan wang di dalam sebuah sumur yang kotor. Maka dia membelanjakan tigabelas dinar agar dapat mengeluarkannya. Sewaktu ditanyai soal itu, dia menjawab, "Sebab ada nama Allah yang tertera pada wang tersebut."
Maka janganlah berkata, "Apa yang dikehendaki oleh Allah dan oleh si Fulan,' melainkan, 'Apa yang dikehendaki oleh Allah, kemudian oleh si Fulan.' Larangan ini untuk memelihara adab, sehingga kalimatnya tidak boleh dibolak-balik.
(bersambung..)
Rujukan: Buku Mengenal Tasauf & Tarekat, Ustaz Haji Ali Haji Mohammed
0 comments:
Post a Comment