Ahmad Rifaie Al Ahmadi Idrisi: July 2012


Search This Blog

Menambah Kata "Sayyidina" Sebelum Nama Nabi Muhammad Saw



(Lembaga Fatwa Mesir)

Apa hukum menambahkan kata "sayyidina" sebelum nama Nabi Muhammad saw., serta para ahlul bait dan wali-wali Allah yang saleh?

Jawapan: Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum'ah Muhammad (Mufti Mesir)

Nabi Muhammad saw. adalah sayyid (penghulu/pemimpin) seluruh makhluk. Hal ini berdasarkan ijmak seluruh kaum muslimin. Nabi saw. sendiri telah menjelaskan hal itu dalam sabda beliau.

"Saya adalah sayyid (penghulu) anak Adam."

Dalam riwayat lain,

"Saya adalah sayyid (penghulu) manusia." (Muttafaq alaih).

Di dalam Alquran, Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk menghormati dan mengagungkan beliau. Allah berfirman,

"Sesungguhnya Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya. Dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang." (Al-Fath: 8-9).

Salah satu bentuk penghormatan dan pengagungan ini adalah dengan menyebutnya sebagai sayyid. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Qatadah dan Suddi, "Makna tuwaqqiruhu (memuliakannya) adalah tusawwiduhu (mensayyidkannya/memuliakannya)."

Para sahabat juga telah menggunakan kata ini dalam perbincangan mereka. Diriwayatkan dari Sahl bin Hunaif r.a.,dia berkata, "Pada suatu hari kami melewati suatu aliran air. Saya lalu menceburkan diri kedalamnya dan mandi di sana. Ketika selesai saya terkena demam. Keadaan saya itu lalu diceritakan kepada Rasulullah saw., maka beliau bersabda,

"Suruhlah Abu Tsabit untuk berta'awudz." Lalu saya bertanya kepada beliau, "Wahai Sayyidi, apakah ruqyah itu bermanfaat?" Beliau menjawab, "Tidak boleh melakukan ruqyah kecuali kerana ‘ain, sengatan haiwan beracun dan sengatan kalajengking.” (HR. Ahmad dan Hakim. Hakim berkata, “Sanadnya shahih.”).

Para sahabat juga menggunakan kata “sayyid” ini dalam lafaz salawat yang mereka ucapkan. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud r.a., dia berkata, “jika kalian mengucapkan salawat kepada Rasulullah saw. maka gunakanlah kata-kata yang baik. Kerana kalian tidak tahu mungkin saja salawat itu dihadapkan kepada beliau.” Para murid Ibnu Mas’ud lalu berkata, “Kalau begitu ajarilah kami kata-kata yang tepat untuk bersalawat.” Ibnu Mas’ud menjawab, “Katakanlah, “Ya Allah, jadikanlah salawat-Mu, rahmat-Mu dan keberkatan-Mu untuk sayyid (penghulu) para Rasul, pemimpin orang-orang yang bertakwa dan penutup para nabi, Muhammad, hamba-Mu dan rasul-Mu, pemimpin kebaikan, panglima kebaikan, rasul pembawa rahmat,….” (HR. Ibnu Majah dan dihasankan oleh Mundziri).

Riwayat yang sama juga diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. oleh Ahmad bin Mani’ dalam musnadnya, dan dia menghukuminya sebagai hadis hasan dengan syawahidnya (penguat-penguatnya).

Adapun penyebutan kata sayyid untuk para makhluk yang lain selain Nabi saw., maka hal itu juga disyariatkan berdasarkan nash Alquran, Sunnah dan perbuatan umat secara terus menerus tanpa ada pengingkaran terhadapnya. Dalam Alquran, penjelasan mengenai hal ini disebutkan dalam firman Allah,

“Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri melakukan salat di mihrab (katanya), ‘Sesungguhnya Allah mengembirakan kamu dengan kelahiran (seorang putramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk keturunan orang-orang saleh.” (Ali ‘Imran: 39).

Imam Qurthubi berkata, “Ayat ini menjelaskan kebolehan penamaan seseorang dengan kata sayyid, sebagaimana kebolehan pemberian nama seseorang dengan aziz atau karim.”

Disebutkan juga dalam Alquran,

“Kedua-duanya mendapati suami wanita itu di muka pintu”. (Yusuf: 25).

Sedangkan dalam Sunnah, Nabi saw. pernah bersabda mengenai  Hasan dan Husein radhiyallahu ‘anhuma,

“Hasan dan Husein adalah sayyid (penghulu) para pemuda syurga.” (HR. Tirmidzi dan Hakim. Keduanya menshahihkan hadis ini).

Rasulullah saw. juga pernah bersabda mengenai Hasan bin Ali,

“Sesungguhnya cucuku ini adalah sayyid.” (HR. Bukhari).

Juga sabda Rasulullah saw. kepada Fatimah a.s.,

"Wahai Fatimah, apakah kamu tidak rela untuk menjadi sayyidah (penghulu) para wanita syurga.” (HR. Bukhari).

Sabda beliau mengenai Saad bin Muadz r.a.,

“Sambutlah sayyid (pemimpin) kalian.” (HR Bukhari).

Rasulullah saw. juga pernah bersabda kepada Bani Salamah,

“Siapakah sayyid (pemimpin) kalian, wahai Bani Salamah?”
Mereka menjawab, “Sayyid kami adalah Jadd bin Qals. Hanya saja kami menganggapnya sebagai orang yang pelit(kikir/lokek).”
Beliau berkata, “Penyakit mana yang lebih merusak dari pelit? Yang tepat, sayyid kalian adalah ‘Amr bin Jamuh.” (HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad).

Dalam riwayat lain,

“Sayyid kalian adalah Bisyr bin Barra’ bin Ma’rur.” (HR. Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir).

Dan masih banyak lagi dalil yang menyebutkan mengenai kebolehan menyebut sayyid kepada para makhluk.

Adapun perbuatan umat yang terus menerus, misalnya adalah ucapan Umar mengenai Abu Bakar dan Bilal, “Abu Bakar adalah sayyid kami dan telah memerdekakan sayyid kami.” (HR. Bukhari). Juga perkataan Ali mengenai anaknya, Hasan, “sesungguhnya anakku ini adalah sayyid sebagaimana dikatakan oleh Nabi saw.” (HR. Abu Dawud).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa dia berkata Hasan bin Ali, “Wahai sayyidku.” Lalu seseorang bertanya, padanya, “Kamu mengatakan, ‘Wahai sayyidku?’ Abu Hurairah menjawab, “Saya mendengar Rasulullah saw. mengatakan bahwa dia adalah sayyid.” (HR. Nasa’i dalam ‘Amal al-Yaum wal-Lailah).

Penyebutan-penyebutan ini dengan tanpa adanya pengingkaran dari para sahabat yang lain menjadi ijmak sukuti(al-Iqrari). Dan ijmak sukuti itu adalah salah satu dalil syarak, sebagaimana dijelaskan dalam ilmu Ushul Fikih. Sejak zaman dahulu, umat Islam telah terbiasa memberi gelar sayyid kepada para keluarga Nabi saw. (ahlul bait) yang berasal dari keturunan Hasan dan Husein a.s.. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud r.a. dia berkata, “Sesuatu yang menurut kaum muslimin adalah perbuatan baik, maka menurut Allah itu adalah baik. Dan sesuatu yang menurut kaum muslimin adalah perbuatan buruk, maka menurut Allah itu adalah buruk.” (HR. ahmad).

Dengan demikian, penyebutan kata sayyid kepada para ahlul bait dan para wali Allah adalah perbuatan yang disyariatkan, bahkan dianjurkan kerana mengandungi sikap sopan santun, penghormatan dan pemuliaan terhadap mereka. Nabi saw. pernah bersabda,

“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih kecil serta mengetahui hak ulama.” (HR. Ahmad dan Hakim serta dia shahihkan dari Ubadah bin Shamit r.a.).

Wallahu subhanahu wa ta’ala a’lam.

Menambah Kata "Sayyidina" Sebelum Nama Nabi Muhammad SawSocialTwist Tell-a-Friend

Bismillah Pada Al Fatihah

.
Bismillah pada Al Fatihah - 2007/10/04 11:23
(Habib Munzir)

Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh

Cahaya keindahan Nya swt semoga selalu menerangi jiwa dan hari hari anda,

saudaraku yg kumuliakan, menurut Madzhab Syafii tidak sah shalat tanpa membaca basmalah, dan tidak sah bermakmum pada Imam yg tidak membaca Basmalah.

namun bila Imamnya membaca sirr (basmalah dibaca dg suara tidak jahran) maka tetap sah bermakmum padanya.

dan merupakan Ijma 4 madzhab bahwa tidak ada yg melarang basmalah dalam fatihah.

setahu saya, bahkan Imam Masjidil haram pun membaca basmalah, walau sirran, tidak menafikannya,

bila  anda bermakmum pada imam yg tidak baca basmalah, maka anggaplah ia  membaca basmalah sirran, maka shalat anda sah, kecuali bila anda tahu  betul dari ucapannya atau kejelasan dari kesaksian lainnya bahwa imam  itu tak membaca basmalah dalam fatihahnya, maka hindarilah sebisanya.

pendapat  Muttafaq dalam Madzhab Syafii bahwa Basmalah merupakan bagian dari AL  fatihah, setahu saya pendapat ini juga merupakan mayoritas dari 4  madzhab.

demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu,

wallahu a'lam

Sumber
Bismillah Pada Al FatihahSocialTwist Tell-a-Friend

Surat Attaubah diawali tanpa basmalah

.
Surat al-quran di awali tanpa bismillah - 2007/05/04 21:40
(Habib Munzir)

Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,

Limpahan kebahagiaan semoga selalu tercurah pada hari hari anda,

saudariku yg kumuliakan,basmalah dilarang dibaca pada awal surat Attaubah karena memang tak dicantumkan  dalam mushaf Alqur.an, tak pula diperintahkan oleh Rasul saw untuk  menuliskannya, bila kita menambahinya maka kita telah mengacau Alqur'an  yg dicatat oleh para sahabat menurut perintah Nabi saw

sejarahnya  adalah bahwa Ibn Abbas ra bertanya kepada Ustman bin Affan ra mengapa  kau tak mencantumkan basmalah pada awal surat Attaubah?, maka Utsman bin  Affan ra menjawab bahwa aku ragu, bahwa sebenarnya surat Attaubah itu  adalah sambungan dari surat Al Anfal, karena Rasul saw selalu menentukan  masing masing ayat pada suratnya, taruh ayat ini disurat anu, ayat ini  disurat anu, dan Rasul saw tak memerintahkan menaruh basmalah pada awal  surat Attaubah, maka aku ragu sekiranya Attaubah itu bagian /sambungan  dari surat Al Anfal, maka aku tak berani menuliskan Basmalah sebagai  tanda pemisah antara dua surat. demikian pendapat Imam tirmidzi, Imam  Ahmad, Imam Abu Dawud, Imam Nasai. (Tafsir Imam Ibn Katsir Juz 2 hal  332)

pendapat lain adalah bahwa Rasul saw tak memerintahkan ditulisnya basmalah saat penulisannya, (Tafsir ALjalalain Juz 1 hal 239)

namun  kedua pendapat ini semakna, jelaslah bahwa Utsman bin Affan ra tak  berani menuliskannya, karena tak ada perintah Rasul saw untuk  mencantumkannya, maka Utsman bin Affan ra ragu apakah ini merupakan dua  surat, atau satu surat, namun riwayat Ali bin Abi Thalib kw bahwa surat  Attaubah turun atas Allah dan Rasul Nya yg berlepas diri dari perbuatan  mereka orng2 dhalim yg disebut pada ayat2 tersebut, maka tak sewajarnya  menggunakan basmalah, karena basmalah adalah lambang kasih sayang Allah.

maka  bila kita menaruhkan basmalah padanya, maka kita telah merubah Alqur'an  karena tidak diperintah oleh Rasul saw untuk mencantumkan basmalah  padanya.

demikian saudariku yg kumuliakan,

wallahu a'lam

Sumber
Surat Attaubah diawali tanpa basmalahSocialTwist Tell-a-Friend

Keistimewaan Umat Nabi Muhammad SAW

.
Diriwayatkan bahawa Rasulullah S.A.W telah bersabda yang bermaksud: " Setelah Allah S.A.W selesai menciptakan Jibrail A.S. dengan bentuk yang cantik, dan Allah S.W.T. menciptakan pula baginya 600 sayap yang panjang, sayap itu antara timur dan barat.

Setelah itu Jibrail A.S. memandang dirinya sendiri dan berkata: " Wahai Tuhanku, adakah engkau menciptakan makhluk yang lebih baik daripada aku".
Lalu Allah S.W.T berfirman yang bermaksud : " Tidak". Kemudian Jibrail A.S. berdiri serta solat dua rakaat kerana syukur kepada Allah S.W.T. dan tiap-tiap rakaat lamanya 20,000 tahun.

Setelah selesai Jibrail A.S. solat, maka Allah S.W.T pun berfirman yang bermaksud: "Wahai Jibrail, kamu telah menyembah Aku dengan ibadah yang bersungguh-sungguh dan tidak ada seorang pun yang menyembah kepadaku seperti ibadah kamu, akan tetapi di akhir zaman nanti akan datang seorang Nabi yang mulia yang paling Aku cintai , namanya " Muhammad". Dia mempunyai umat yang lemah dan sentiasa berdosa; sekiranya mereka itu mengerjakan solat dua rakaat yang hanya sebentar sahaja dan mereka dalam keadaan lupa serta kurang, fikiran mereka melayang bermacam-macam dan dosa mereka pun besar juga.Maka demi kemuliaanKu, sesungguhnya solat mereka itu Aku lebih suka dari solatmu. Kerana mereka mengerjakan solat atas perintahKu, sedangkan kamu mengerjakan solat bukan atas perintahKu'. Kemudian Jibrail A.S. berkata: "Ya Tuhanku, apakah yang engkau hadiahkan kepada mereka sebagai imbalan ibadah mereka?" Lalu Allah S.W.T. berfirman yang bermaksud : " Ya Jibrail, akan Aku memberikan syurga Ma'waa sebagai tempat tinggal".

Kemudian Jibrail A.S. meminta izin kepada Allah S.W.T. untuk melihat syurga Ma'waa.

Setelah Jibrail A.S. mendapat izin dari Allah S.W.T. maka pergilah Jibrail A.S. dengan mengembangkan sayap dan terbang, setipa kali dia mengembangkan dua sayapnya dia boleh menempuh jarak perjalanan 3,000 tahun terbanglah malaikat Jibrail A.S. selama 300 tahun sehingga ia merasa letih dan lemah dan akhirnya dia turun singgah berteduh di bawah bayangan sebuah pohon dan dia sujud kepada Allah S.W.T. lalu ia berkata dalam sujud: "Ya Tuhanku apakah sudah aku menempuh jarak perjalanan setengahnya, atau sepertiganya, atau seperempatnya?"

Kemudian Allah S.W.T. berfirman yang bermaksud: " Wahai Jibrail, kalau kamu dapat terbang selama 3,000 tahun dan meskipun Aku memberikan kekuatan kepadamu serta kekuatan yang engkau miliki, lalu kamu terbang seperti yang telah kamu lakukan, nescaya kamu tidak akan sampai kepada sepersepuluh dari beberapa perpuluhan yang telah diberikan kepada umat Muhammad terhadap imbalan solat dua rakaat yang mereka kerjakan".
Keistimewaan Umat Nabi Muhammad SAWSocialTwist Tell-a-Friend

Hari-hari yang diharamkan berpuasa

.
1. Hari Syak iaitu hari yang apabila ia ragu tarikh sebenar Ramadhan (30 Sya'ban). Ini berdasarkan hadith dari Ammar bin Yasir r.a yang bermaksud :

" Sesiapa berpuasa pada hari syak, sesungguhnya dia telah menderhaka Abu Al-Kasim (Muhammad) s.a.w."

2. Hari Raya Aidilfitri dan Aidiladha iaitu 1 Syawal dan 10 Zulhijjah. Ini berdasarkan hadith dari Abu Hurairah r.a yang bermaksud :

" Bahawa Rasullullah s.a.w menegah berpuasa pada dua hari iaitu hari raya fitri dan hari raya adha "

3. Hari-hari tasyrik iaitu 11, 12 dan 13 Zulhijjah. Ini berdasarkan hadith daripada Imam Muslim dalam sahihnya daripada Nabi s.a.w yang bermaksud :

" Hari-hari Mina merupakan hari-hari makan dan minum juga hari mengingati Allah s.w.t "

4. Hari Haid dan Nifas.

5. Ulama' Mazhab Syafii berpendapat adalah haram berpuasa pada separuh akhir bulan Sya'ban yang mana ada di antaranya hari Syak melainkan mereka yang biasa berpuasa sepanjang tahun atau bagi mereka yang berpuasa pada hari tertentu seperti hari Isnin dan Khamis yang puasanya berkebetulan dengan hari selepas 15 Sya'ban atau puasa nazar yang tertanggung ke atasnya atau puasa qada' atau fardhu ataupun puasa yang bersambung dengan puasa selepas Sya'ban dan puasa sebelumnya walaupun satu hari sebelum 15 hari Sya'ban kerana berdasarkan hadith yang bermaksud :

" Apabila telah tiba pertengahan bulan Sya'ban, janganlah kamu berpuasa " (Riwayat Ahmad)

Mazhab Hanbali dan mazhab-mazhab lain tidak berpegang kepada hadith ini kerana ia da'if menurut pendapat Imam Ahmad.

6. Puasa bagi orang yang bimbangkan dirinya binasa kerana puasa tersebut.

Sumber : Jabatan Agama Islam Selangor. Fiqh Islami wa Adilatuh - Dr. Wahbah Zuhaili
Hari-hari yang diharamkan berpuasaSocialTwist Tell-a-Friend

Aqidah asy'ariyah dan asma wa shifat

.
Aqidah asy'ariyah dan asma wa shifat - 2009/02/25 11:13

Oleh: HABIB MUNZIR ALMUSAWA

Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,

Kesejukan kasih sayang Nya semoga selalu menerangi hari hari anda dg kebahagiaan,

Saudaraku yg kumuliakan,
1. Aqidah Asy’ariyyah adalah aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang mengajarkan bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang wajib yang berjumlah 20 sifat. Begitu juga yang mustahil 20 sifat dan yang jaiz 1 sifat dan yang lainnya yang dapat diketahui dari buku-buku tauhid seperti Kitab Sifat Dua Puluh karangan Habib Usman bin Yahya dan kitab lainnya

Adapun aqidah Asmaa wa sifaat adalah bagian aqidah kelompok yang dikenal dengan Wahabiyyah, dalam aqidah ini mereka mengajarkan bahwa aqidah terbagi tiga bagian yaitu Tauhid Rububiyyah, Tauhid Ukuhiyyah dan Asmaa wa sifaat.

Perbedaan yang prinsip antara 2 kelompok diatas diantaranya dengan aqidah asmaa wa sifaat mereka berkeyakinan bahwa Allah dengan Zat Nya bersemayam diatas A’rsy sedangkan Ahlussunnah menta’wilkan ayat yang dijadikan dalil oleh mereka yaitu Firman Allah
اَلرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Bahwa Allah tidak bersemayam dengan Zat Nya diatas ‘Arsy secara singkat perbedaan antara keduanya bahwa Ahlussunnah menggunakan ta’wil dalam ayat2 sifat dengan ta’wil yang layak bagi Allah swt dengan segala kesucian Nya sedang mereka tidak menerimanya

2.    Tentu setelah anda tahu bahwa aqidah Asy’ariyyah adalah aqidah Ahlussunnah maka inilah yang harus dipegang sampai wafat. Mudah-mudahan Allah wafatkan kita semua dalam Khusnul Khotimah, Amin

mengenai masalah yg mereka selewengkan adalah masalah takwil, sbgbr :

AYAT TASYBIH

Mengenai ayat mutasyabih yg sebenarnya para Imam dan Muhadditsin selalu berusaha menghindari untuk membahasnya, namun justru sangat digandrungi oleh sebagian kelompok muslimin sesat masa kini, mereka selalu mencoba menusuk kepada jantung tauhid yg sedikit saja salah memahami maka akan terjatuh dalam jurang kemusyrikan, seperti membahas bahwa Allah ada dilangit, mempunyai tangan, wajah dll yg hanya membuat kerancuan dalam kesucian Tauhid ilahi pada benak muslimin, akan tetapi karena semaraknya masalah ini diangkat ke permukaan, maka perlu kita perjelas mengenai ayat ayat dan hadits tersebut.

Sebagaimana makna Istiwa, yg sebagian kaum muslimin sesat sangat gemar membahasnya dan mengatakan bahwa Allah itu bersemayam di Arsy, dengan menafsirkan kalimat ”ISTIWA” dengan makna ”BERSEMAYAM atau ADA DI SUATU TEMPAT” , entah darimana pula mereka menemukan makna kalimat Istawa adalah semayam, padahal tak mungkin kita katakan bahwa Allah itu bersemayam disuatu tempat, karena bertentangan dengan ayat ayat dan Nash hadits lain, bila kita mengatakan Allah ada di Arsy, maka dimana Allah sebelum Arsy itu ada?, dan berarti Allah membutuhkan ruang, berarti berwujud seperti makhluk, sedangkan dalam hadits qudsiy disebutkan Allah swt turun kelangit yg terendah saat sepertiga malam terakhir, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Muslim hadits no.758, sedangkan kita memahami bahwa waktu di permukaan bumi terus bergilir,

maka bila disuatu tempat adalah tengah malam, maka waktu tengah malam itu tidak sirna, tapi terus berpindah ke arah barat dan terus ke yang lebih barat, tentulah berarti Allah itu selalu bergelantungan mengitari Bumi di langit yg terendah, maka semakin ranculah pemahaman ini, dan menunjukkan rapuhnya pemahaman mereka, jelaslah bahwa hujjah yg mengatakan Allah ada di Arsy telah bertentangan dg hadits qudsiy diatas, yg berarti Allah itu tetap di langit yg terendah dan tak pernah kembali ke Arsy, sedangkan ayat itu mengatakan bahwa Allah ada di Arsy, dan hadits Qudsiy mengatakan Allah dilangit yg terendah.

Berkata Al hafidh Almuhaddits Al Imam Malik rahimahullah ketika datang seseorang yg bertanya makna ayat : ”Arrahmaanu ’alal Arsyistawa”, Imam Malik menjawab : ”Majhul, Ma’qul, Imaan bihi wajib, wa su’al ’anhu bid’ah (tdk diketahui maknanya, dan tidak boleh mengatakannya mustahil, percaya akannya wajib, bertanya tentang ini adalah Bid’ah Munkarah), dan kulihat engkau ini orang jahat, keluarkan dia..!”, demikian ucapan Imam Malik pada penanya ini, hingga ia mengatakannya : ”kulihat engkau ini orang jahat”, lalu mengusirnya, tentunya seorang Imam Mulia yg menjadi Muhaddits Tertinggi di Madinah Almunawwarah di masanya yg beliau itu Guru Imam Syafii ini tak sembarang mengatakan ucapan seperti itu, kecuali menjadi dalil bagi kita bahwa hanya orang orang yg tidak baik yg mempermasalahkan masalah ini.

Lalu bagaimana dengan firman Nya : ”Mereka yg berbai’at padamu sungguh mereka telah berbai’at pada Allah, Tangan Allah diatas tangan mereka” (QS Al Fath 10), dan disaat Bai’at itu tak pernah teriwayatkan bahwa ada tangan turun dari langit yg turut berbai’at pada sahabat.

Juga sebagaimana hadits qudsiy yg mana Allah berfirman : ”Barangsiapa memusuhi waliku sungguh kuumumkan perang kepadanya, tiadalah hamba Ku mendekat kepada Ku dengan hal hal yg fardhu, dan Hamba Ku terus mendekat kepada Ku dengan hal hal yg sunnah baginya hingga Aku mencintainya, bila Aku mencintainya maka aku menjadi telinganya yg ia gunakan untuk mendengar, dan menjadi matanya yg ia gunakan untuk melihat, dan menjadi tangannya yg ia gunakan untuk memerangi, dan kakinya yg ia gunakan untuk melangkah, bila ia meminta pada Ku niscaya kuberi permintaannya....” (shahih Bukhari hadits no.6137)
Maka hadits Qudsiy diatas tentunya jelas jelas menunjukkan bahwa pendengaran, penglihatan, dan panca indera lainnya, bagi mereka yg taat pada Allah akan dilimpahi cahaya kemegahan Allah, pertolongan Allah, kekuatan Allah, keberkahan Allah, dan sungguh maknanya bukanlah berarti Allah menjadi telinga, mata, tangan dan kakinya.

Masalah ayat/hadist tasybih (tangan/wajah) dalam ilmu tauhid terdapat dua pendapat dalam menafsirkannya.
1.Pendapat Tafwidh ma’a tanzih
2.Pendapat Ta’wil

1. Madzhab tafwidh ma’a tanzih yaitu mengambil dhahir lafadz dan menyerahkan maknanya kpd Allah swt, dg i’tiqad tanzih (mensucikan Allah dari segala penyerupaan)
Ditanyakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal masalah hadist sifat, ia berkata ”Nu;minu biha wa nushoddiq biha bilaa kaif wala makna”, (Kita percaya dg hal itu, dan membenarkannya tanpa menanyakannya bagaimana, dan tanpa makna) Madzhab inilah yg juga di pegang oleh Imam Abu hanifah.

dan kini muncullah faham mujjassimah yaitu dhohirnya memegang madzhab tafwidh tapi menyerupakan Allah dg mahluk, bukan seperti para imam yg memegang madzhab tafwidh.

2. Madzhab takwil yaitu menakwilkan ayat/hadist tasybih sesuai dg keesaan dan keagungan Allah swt, dan madzhab ini arjah (lebih baik untuk diikuti) karena terdapat penjelasan dan menghilangkan awhaam (khayalan dan syak wasangka) pada muslimin umumnya, sebagaimana Imam Syafii, Imam Bukhari,Imam Nawawi dll. (syarah Jauharat Attauhid oleh Imam Baajuri)
Pendapat ini juga terdapat dalam Al Qur’an dan sunnah, juga banyak dipakai oleh para sahabat, tabiin dan imam imam ahlussunnah waljamaah.

seperti ayat :
”Nasuullaha fanasiahum” (mereka melupakan Allah maka Allah pun lupa dengan mereka) (QS Attaubah:67),
dan ayat : ”Innaa nasiinaakum”. (sungguh kami telah lupa pada kalian QS Assajdah 14).

Dengan ayat ini kita tidak bisa menyifatkan sifat lupa kepada Allah walaupun tercantum dalam Alqur’an, dan kita tidak boleh mengatakan Allah punya sifat lupa, tapi berbeda dg sifat lupa pada diri makhluk, karena Allah berfirman : ”dan tiadalah tuhanmu itu lupa” (QS Maryam 64)

Dan juga diriwayatkan dalam hadtist Qudsiy bahwa Allah swt berfirman : ”Wahai Keturunan Adam, Aku sakit dan kau tak menjenguk Ku, maka berkatalah keturunan Adam : Wahai Allah, bagaimana aku menjenguk Mu sedangkan Engkau Rabbul ’Alamin?, maka Allah menjawab : Bukankah kau tahu hamba Ku fulan sakit dan kau tak mau menjenguknya?, tahukah engkau bila kau menjenguknya maka akan kau temui Aku disisinya?” (Shahih Muslim hadits no.2569)

apakah kita bisa mensifatkan sakit kepada Allah tapi tidak seperti sakitnya kita?

Berkata Imam Nawawi berkenaan hadits Qudsiy diatas dalam kitabnya yaitu Syarah Annawawiy alaa Shahih Muslim bahwa yg dimaksud sakit pada Allah adalah hamba Nya, dan kemuliaan serta kedekatan Nya pada hamba Nya itu, ”wa ma’na wajadtaniy indahu ya’niy wajadta tsawaabii wa karoomatii indahu” dan makna ucapan : akan kau temui aku disisinya adalah akan kau temui pahalaku dan kedermawanan Ku dengan menjenguknya (Syarh Nawawi ala shahih Muslim Juz 16 hal 125)

Dan banyak pula para sahabat, tabiin, dan para Imam ahlussunnah waljamaah yg berpegang pada pendapat Ta’wil, seperti Imam Ibn Abbas, Imam Malik, Imam Bukhari, Imam Tirmidziy, Imam Abul Hasan Al Asy’ariy, Imam Ibnul Jauziy dll (lihat Daf’ussyubhat Attasybiih oleh Imam Ibn Jauziy).
Maka jelaslah bahwa akal tak akan mampu memecahkan rahasia keberadaan Allah swt, sebagaimana firman Nya : ”Maha Suci Tuhan Mu Tuhan Yang Maha Memiliki Kemegahan dari apa apa yg mereka sifatkan, maka salam sejahtera lah bagi para Rasul, dan segala puji atas tuhan sekalian alam” . (QS Asshaffat 180-182).
Walillahittaufiq

Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu, semoga sukses dg segala cita cita,

Wallahu a'lam

Sumber:

http://majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=&func=view&catid=7&id=21147#21147
Aqidah asy'ariyah dan asma wa shifatSocialTwist Tell-a-Friend

Mengapa tauhid tiga serangkai?

.
— 16/11/2009 3:28 pm
Mengapa tauhid tiga serangkai?

Oleh PANEL PENYELIDIKAN YAYASAN SOFA

SEJAK kemasukan Islam ke Tanah Melayu, umat Islam di negara ini kuat berpegang dengan akidah Ahli Sunnah Wal Jamaah (ASWJ) yang disusun atau diformulasikan oleh dua tokoh terbesar dalam bidang ilmu tauhid iaitu Imam Abu al Hasan al Asy’ari r.a

dan Imam Abu Mansur al Maturidi r.a. Perkara ini telah ditegaskan oleh ulama ulung Tanah Melayu, al Allamah Sheikh Abdullah Fahim.

Beliau juga menyatakan bahawa ia telah menjadi ijmak ulama di Tanah Melayu.

Antara kenyataannya berbunyi: “Tuan-tuan sedia maklum beratus-ratus tahun bahawa orang bangsa Melayu seMelaya ini dari peringkat ke bawah hingga peringkat ke atas; awam-awam, kadi-kadi, ulama-ulama, menteri-menteri, hingga Raja-raja sekalian mereka itu bermazhab dengan mazhab al Imam al Syafi’e r.a ijma’an (ijmak), tiada seorang pun yang bermazhab lain daripada mazhab Syafi’e. Usuluddin atas perjalanan Abi al Hasan al Asy’ari r.a. Diambilkan dari Syuruh dan Hawasyi Ummu al Barahin dan Jauharah dan sebagainya daripada kitab-kitab Melayu”.

Di dalam kitab ini, pendekatan Sifat 20 digunakan bagi memahami permasalahan ketuhanan. Pendekatan ini juga diguna pakai di kebanyakan negara-negara Islam yang berpegang dengan akidah ASWJ seperti di Mesir, Syria dan Morocco.

Ia juga menjadi silibus di kebanyakan universiti di dunia Islam termasuklah universiti Islam terulung di dunia, Universiti al Azhar al Syarif.

Sejak doktrin ini diguna pakai di negara kita, kita berupaya mengecapi nikmat keamanan beragama dan ketamadunan negara. Tidak seperti negara-negara Islam lain yang memakai acuan yang bercanggah dengannya seperti aliran fahaman Syiah, Muktazilah, Musyabbihah dan sebagainya.

Tidak timbul di dalam doktrin Sifat 20 ini soal-soal kepincangan dan percanggahannya dengan akidah ASWJ yang tulen.

Namun, setelah ratusan tahun pendekatan ini digunakan tanpa sebarang masalah dalam menjaga kemurnian tauhid dan akidah umat Islam, timbul desas-desus yang mengatakan bahawa ia diambil dari Falsafah Greek.

Malah, tidak lagi sesuai dijadikan sebagai pendekatan dalam pembelajaran ilmu Tauhid. Sementelahan itu juga, pendekatan tauhid tiga serangkai yang dirumuskan oleh Ibnu Taimiyyah menjadi pengganti Doktrin Sifat 20.

Usaha-usaha untuk menukar pendekatan tauhid tiga serangkai ini dalam kurikulum pendidikan negara juga nampaknya begitu pantas dilakukan.

Persoalannya, kenapakah tiba-tiba pendekatan ini pula yang perlu dipilih sebagai pengajaran ilmu tauhid di negara kita? Adakah pendekatan Sifat 20 mengandungi unsur-unsur yang mengelirukan atau terseleweng dari iktikad ASWJ?

Adakah pembahagian tauhid tiga serangkai ini telah dinaskan oleh syarak dan terdapat dalil-dalil yang menunjukkan ke atasnya? Apakah kita pasrah sahaja dengan pendapat yang mengatakan doktrin Sifat 20 yang kita pegang dan pakai selama ini bukan tauhid yang benar tetapi diambil dari fahaman falsafah Greek.

Jika begitu, semua orang yang berpegang dengan Tauhid 20 mengikut ajaran yang salah dan sesat. Apakah boleh kita terima penyesatan ini yang melibatkan nenek moyang kita, para ulama kita dan majoriti umat Islam di seluruh dunia?

Dibawa Rasullulah SAW

Kita telah sedia maklum, bahawa akidah ASWJ yang diketahui secara umum ialah akidah yang dibawa oleh Rasulullah SAW dan diikuti oleh sahabat-sahabat baginda.

Tidak kedapatan langsung, perkataan yang terkeluar daripada Rasulullah SAW dan sahabat baginda yang menyebut tentang tauhid yang digembar-gemburkan oleh pengikut Ibnu Taimiyyah dan Wahhabi ini.

Begitu juga dalam metodologi ASWJ yang telah disusun oleh pelopornya, Imam Abu al Hasan al Asy’ari r.a dan Imam Abu Mansur al Maturidi r.a, tidak pernah menggariskan tauhid ini dalam ruang lingkup akidah ASWJ.

Apa yang kita dapati tauhid ini telah ditimbulkan dan direka oleh Ibnu Taimiyyah dan dikembang biakkan pula oleh anak-anak muridnya sehingga ke generasi Muhammad ibn Abdul Wahhab. Dalam erti kata lain, tauhid inilah yang menjadi pegangan golongan Wahhabi secara khusus.

Sejak dahulu lagi hinggalah ke hari ini, telah terdapat banyak penentangan dan penolakan yang diutarakan oleh ulama terhadap Tauhid 3 Serangkai ini.

Oleh yang demikian, kita melihat di dalam kitab-kitab penulisan ulama ASWJ, terdapat banyak butiran lanjut mengenai penolakan mereka terhadap tauhid yang direka cipta ini.

Jika kita menyoroti dari perspektif ulama tersebut, kita mendapati ulama al Azhar telah bersetuju mengeluarkan kenyataan tentang kesalahan tauhid ini yang sebenarnya telah direka dan dicipta oleh orang-orang yang terkeliru dengan maksud sebenar ayat al-Quran dan hadis.

Justeru, kenapa pula kita perlu memakai pendekatan Tauhid 3 Serangkai yang mengandungi kepincangan dan telah ditolak oleh ulama kecuali Ibnu Taimiyyah dan pengikut-pengikutnya?

Untuk lebih jelas lagi, di bawah ini disenaraikan beberapa cendekiawan dan sarjana Islam dan kitab penulisan mereka yang mengandungi penolakan terhadap ajaran tauhid rekaan ini:

*Al ‘Allamah al Mufassir al Muhaddith Sheikh Yusof al Dijwi RA, Ahli Lembaga Majlis Ulama Besar al Azhar.

Beliau mengeluarkan fatwa penolakan al Azhar terhadap tauhid rububiah dan uluhiah. Kenyataannya ini dipaparkan dalam Majalah Nur al Islam edisi tahun 1933 yang merupakan lidah rasmi al Azhar pada masa itu.

Fatwa yang dikeluarkannya ini, turut dipersetujui oleh ulama al Azhar yang lain tanpa adanya sebarang bangkangan. Sehingga hari ini, fatwa tersebut masih lagi segar. Ini dapat dilihat dalam beberapa majalah yang diiktiraf oleh al Azhar. Antaranya, di dalam majalah al Muslim. Al Muhaddith al ‘Allamah Sheikh Muhammad Zaki Ibrahim r.a telah mengeluarkan kembali fatwa ini dalam majalah tersebut.

*Al Muhaddith al ‘Allamah Sheikh Salamah al Qudha’i al ‘Azzami al Syafi’i r.a dalam kitabnya al Barahin al Sati’ah fi Raddi b’ad al bida’ al Syai’ah.

Kitab ini telah mendapat pengiktirafan dan pujian daripada muhaddith pada zaman tersebut iaitu al ‘Allamah Sheikh Muhammad Zahid al Kauthari r.a.

*Al Allamah al Muhaddith Prof. Dr. Sayyid Muhammad ibn Alawi al Maliki al Hasani, ulama besar di Mekah al Mukarramah dan bekas tenaga pengajar Masjid al Haram yang diakui ilmunya oleh ulama pada zaman ini.

Beliau telah menulis penolakannya terhadap tauhid ini dalam kitabnya Huwallah. Bahkan beliau menyarankan kerajaan Arab Saudi supaya mengkaji semula pengajaran tauhid ini di institusi pengajian rendah, menengah dan Tinggi di dalam Muktamar Hiwar al Watoni di Mekah yang diadakan pada 5/11/1424 hingga 9/11/1424. Ia disebut di dalam kertas kerja beliau yang bertajuk al Ghuluw.

*Mufti Besar Mesir, Prof. Dr. Ali Jumu’ah.

Beliau turut menyentuh masalah ini di dalam laman web beliau ketika menjawab soalan yang dikemukakan kepadanya. Iaitu, tentang seorang pemuda yang mengkafirkan seluruh penduduk kampung kerana bertawassul dengan mendakwa orang yang bertawassul tergolong dalam golongan musyrikin yang beriman dengan tauhid rububiah tetapi tidak beriman dengan tauhid uluhiah.

Beliau menolak sekeras-kerasnya pembahagian tauhid ini dengan mengatakan bahawa pembahagian tauhid ini adalah perkara rekaan yang tidak pernah datang dari Salafussoleh tetapi orang pertama yang menciptanya ialah Sheikh Ibnu Taimiyyah.

Beliau juga menyatakan bahawa pendapat yang menyatakan bahawa tauhid rububiah sahaja tidak mencukupi bagi keimanan seseorang adalah pendapat yang diadakan-diadakan dan bercanggah dengan ijmak kaum Muslimin sebelum Ibnu Taimiyyah.

*Prof. Dr. Muhammad Sa’id al Ramadhan Bouti, Ulama Kontemporari Dunia Islam dari Syria.

Beliau menyatakan dengan tegas bahawa pembahagian tauhid ini adalah bidaah dalam Seminar Pengurusan Fatwa Negara-negara Asean anjuran Universiti Sains Islam Malaysia pada pada 16 hingga 17 April 2005 di Hotel Nikko Kuala Lumpur.

*Prof. Dr. Isa ibn Abdullah Mani’ al Himyari – Mantan Pengarah Jabatan Waqaf dan Hal Ehwal Islam Dubai.

Beliau telah menulis mengenai kepincangan pembahagian tauhid ini di dalam kitabnya yang bertajuk ‘al Fath al Mubin fi Bara’at al Muwahhidin min ‘Aqaid al Musyabbihin.

*Al ‘Allamah Abu Abdullah ‘Alawi al Yamani dalam kitabnya Intabih Dinuka fi Khatorin.

Kitab ini telah mendapat pujian dari lima ulama besar Yaman.

*Al ‘Allamah Abu al Hasanain Abdullah ibn Abdur Rahman al Makki al Syafi’i, ulama besar Mekah.

Beliau juga telah membahaskan masalah ini di dalam kitabnya al Qaul al Wajih fi Tanzih Allah Taala ‘an al Tasybih.

*Dr. Sheikh Yusof al Bakhur al Hasani salah seorang ahli fatwa di Kanada juga telah menulis risalah mengenainya.

*Sheikh Sirajuddin Abbas seorang ulama unggul Indonesia, juga menghuraikan masalah ini yang ditulis dalam versi Melayu dalam kitabnya Akidah Ahli Sunnah wal Jamaah.

Beliau dengan tegas menyatakan bahawa tauhid ini merupakan iktikad rekaan puak Wahhabi dan bukannya iktikad ASWJ.

Dalam satu petikan, beliau menyatakan: Kaum Wahhabi mencipta pengajian baru ini bertujuan untuk menggolongkan orang-orang yang datang menziarahi Makam Nabi SAW di Madinah, orang-orang yang berdoa dengan bertawassul dan orang yang meminta syafaat Nabi SAW serupa dengan orang kafir yang dikatakan bertauhid rububiah itu.

*Al ‘Allamah Muhammad al ‘Arabi ibn al Tabbani al Hasani, Tenaga Pengajar di Masjid al Haram.

Beliau juga turut menulis kepincangan tauhid ini di dalam kitabnya Bara’ah al Asy’ariyyin min ‘Aqaid al Mukhalifin.

*Dr. Umar Abdullah Kamil, sarjana dan pakar ekonomi Arab Saudi serta ahli eksekutif Universiti al Azhar.

Beliau pernah membentangkan kebatilan konsep Tauhid 3 Serangkai ini di dalam Seminar Perpaduan Ummah dan Pemurniaan Akidah anjuran Kerajaan Negeri Pahang pada 25-26 Ogos 2006 dan di Multaqa 3 Ulama Mekah al Mukarramah yang dianjurkan oleh Jabatan Mufti Kerajaan Negeri Johor pada 20 Februari 2008.

Kertas kerja tersebut telah diterbitkan oleh Sekretariat Penjelasan Hukum Berkenaan Isu-isu Aqidah dan Syariah Majlis Agama Islam Johor.

Beliau turut membahaskan kepincangan pembahagian tauhid ini di dalam kitabnya yang bertajuk Kalimah Hadi’ah fi Bayan Khata’ al Taqsim al Thulasi li al Tauhid (Perkataan yang tenang dalam menjelaskan kesalahan pembahagian yang tiga bagi ilmu Tauhid).

*Al Allamah Abdur Rahman Hasan Habannakah al Maidani.

Beliau juga telah menulis masalah ini secara khusus di dalam kitabnya yang bertajuk Tauhid al Rububiah wa Tauhid al Ilahiyyah wa Mazahib al nas bi al Nisbah Ilaihima.

Ulama-ulama ini telah lama melakukan pengkajian dan penelitian rapi terhadap tauhid tiga serangkai ini.

Kepada pembaca yang prihatin dan bijaksana sebaik-baiknya mendapatkan keterangan lanjut dari kitab-kitab ini terlebih dahulu sebelum berani membuat kesimpulan dan melontarkan pendapat di khalayak ramai.

Asas sahih

Perkara agama apatah lagi berkaitan dengan akidah tidak boleh dibuat kesimpulan sebarangan tetapi perlu merujuk kepada asas yang sahih.

Untuk mempertahankan agama tidak cukup bermodalkan semangat juang dan sijil menjela-jela semata-mata sehingga kita terpekik dan terlolong tidak kena pada tempatnya tetapi memerlukan kemantapan ilmu, kecemburuan terhadap penodaan yang dilakukan ke atas agama dan umatnya, keikhlasan kepada Allah dan hati yang disinari cahaya oleh Allah.

Ibnu Taimiyyah dan pengikut-pengikutnya didapati telah menjadikan konsep pembahagian tauhid ini sebagai batu loncatan untuk mengkafirkan umat Islam.

Mereka telah mengkafirkan orang-orang yang bertawassul dengan Rasulullah SAW dan wali-wali, orang-orang yang menziarahi kubur dan sebagainya dengan dakwaan orang yang melakukan pekerjaan tersebut bertauhid dengan tauhid rububiah sahaja tetapi tidak tidak bertauhid dengan tauhid uluhiah.

Mereka menyamakan tauhid yang dimiliki oleh orang-orang yang melakukan pekerjaan ini sama dengan orang musyrikin yang menjadikan berhala sebagai sampingan mereka dengan Allah.

Apakah pernah ketika Rasulullah SAW berdakwah, Baginda SAW mengatakan kepada orang yang memeluk Islam kamu telah mempunyai tauhid rububiah tetapi masih belum memiliki tauhid uluhiah?

Apakah boleh kita katakan orang bukan Islam juga mempunyai tauhid seperti orang Islam atau ahli tauhid?

Objektif tauhid Asma’ dan Sifat digembar-gemburkan untuk menyandarkan kepada Allah SAW makna perkataan tangan, mata, bersemayam, ketawa, turun dan sifat penyerupaan yang lain kepada makna yang hakiki yang dikenali di sisi makhluk.

Maha Suci Allah daripada apa yang mereka sifatkan kerana yang demikian itu menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya.

Sehubungan dengan ini, umat Islam diseru agar sama-sama berfikir dan meneliti dengan hati yang lapang dan dada yang terbuka rasional perkara ini.

Kita seharusnya berbangga dengan ramainya bilangan umat Islam dan berusaha menambah bilangan umat Islam tetapi sebaliknya kita sendiri yang mengecilkan lagi kuantiti umat Islam yang semakin hilang kualitinya hanya kerana permasalahan uluhiah dan rububiah yang sengaja ditimbulkan.

Tidak ada suatu perkara yang lebih buruk daripada mengkafirkan orang Islam yang menyebut kalimah tauhid Laa ilaaha illallah dan mentasdiqkannya di dalam hati.

Banyak kemusnahan yang berlaku di negara-negara Islam disebabkan oleh perkara ini. Kita sendiri telah menyaksikan dengan mata kepala kita bagaimana persengketaan umat Islam telah mencetuskan kelemahan dan kemusnahan terhadap negara-negara Islam seperti di Afghanistan, Yaman, Lebanon, Syria, Mesir dan sebagainya.

Semoga persengketaan dan kehancuran ini tidak terjadi di negara kita Malaysia yang tercinta ini. Justeru, sewajarnya pembahagian ini dibentangkan di atas meja perbincangan secara ilmiah dan profesional serta berlandaskan kepada usul kitab dan sunnah.

Ini hanyalah lontaran awal dari hasil penelitian kami yang dirujuk kepada sumber-sumber yang sahih dan tokoh-tokoh ulama yang berkeahlian. Insya-Allah, penerangan lanjut mengenai tauhid ini akan dikeluarkan pada keluaran akan datang.

Bahan-bahan yang bakal dipersembahkan banyak merujuk kepada kitab penulisan Imam al Haramain al ‘Allamah Ibnu al ‘Arabi al Tabbani bertajuk Bara’ah al Asy’ariyyin. Ia telah diringkaskan oleh al Allamah Prof. Dr. Isa ibn Abdullah Mani’ al Himyari, Mantan Pengarah Jabatan Waqaf dan Hal Ehwal Islam Dubai di dalam kitabnya yang bertajuk ‘al Fath al Mubin fi Bara’at al Muwahhidin min ‘Aqaid al Musyabbihin.

sumber:

http://yayasansofa.com/v1/?p=116

Sambungan

— 30/11/2009 9:41 am
Tauhid tiga serangkai disyariat dalam Islam?

Oleh PANEL PENYELIDIKAN YAYASAN SOFA

MINGGU ini kita menyambung kembali persoalan tauhid tiga serangkai yang telah pun diberikan lontaran awal pada dua minggu lepas. Sebelum soalan pertama dilontarkan mengenai tauhid tiga serangkai atau tauhid tiga bahagian yang diformulasikan atau direka oleh Ibnu Taimiyyah ini, sebaiknya kita melihat dahulu secara ringkas definisi yang diberikan kepada ketiga-tiga tauhid ini.

Tauhid rububiah didefinisikan dengan makna mengesakan Allah pada ciptaan, pemerintahan, takdir, pentadbiran dan perbuatan-Nya serta dalam memberikan suatu kesan.

Manakala tauhid uluhiah didefinisikan dengan makna mengesakan Allah dalam hal peribadatan tanpa mengambil seorang manusia pun bersama Allah sebagai sembahan.

Tauhid Asma’ dan Sifat pula didefinisikan dengan makna mengesakan Allah pada apa yang dinamakan dan disifatkan dengan diri-Nya, sebagaimana yang terdapat di dalam kitab-Nya atau yang didapati daripada lidah nabi-Nya yang telah menetapkan dengan apa yang telah ditetapkan bagi diri-Nya.

Dalam membincangkan pembahagian ini, maka perkara utama yang perlu dipersoalkan dan bincangkan ialah adakah pembahagian ini telah dinaskan oleh syarak dan terdapat dalil-dalil yang menunjukkan ke atasnya? Adakah pembahagian ini merupakan perkara yang disyariatkan ataupun perkara baru yang dicipta (bidaah)?

Persoalan ini, mengandungi beberapa jawapan:

Jawapan Pertama

Ibnu Taimiyyah yang merupakan pereka pembahagian tauhid ini mendakwa dirinya bermazhab Hanbali.
Namun Imam Ahmad ibnu Hanbal r.a. sendiri, yang dikatakan menjadi tempat sandaran bagi orang-orang yang melakukan pembahagian tauhid bidaah ini, tidak pernah menyatakan bahawa tauhid itu mempunyai beberapa bahagian; tauhid rububiah, tauhid uluhiah dan tauhid asma’ dan sifat.

Beliau juga tidak pernah menyatakan bahawa sesiapa yang tidak mengetahui tauhid uluhiah, tidak dikira makrifatnya tentang tauhid rububiah kerana tauhid rububiah ini telah diketahui oleh orang musyrikin.

Sesungguhnya akidah Imam Ahmad ibn Hanbal r.a telah disusun di dalam kitab-kitab karangan pengikutnya. Misalnya, di dalam kitab biografinya yang ditulis oleh Ibnu Jauzi dan lain-lainnya, tidak terdapat langsung pembahagian tauhid rekaan ini. Maka dari manakah Ibnu Taimiyyah mengambil tauhid ini?

Jawapan Kedua

Tidak berkata walau seorang daripada Sahabat-sahabat Nabi r.a: “Sesungguhnya tauhid itu ialah tauhid rububiah dan tauhid uluhiah, dan sekiranya seseorang tidak mengetahui tentang tauhid uluhiah, maka tidak dikira makrifahnya tentang tauhid rububiyyah kerana tauhid rububiah ini telah diketahui oleh orang musyrikin”.
Justeru, saya mencabar kepada setiap orang yang mempunyai ilmu yang mendalam, supaya menaqalkan kepada kami pembahagian yang diada-adakan ini daripada sahabat-sahabat Nabi r.a, sekalipun dengan mengemukakan satu riwayat yang lemah.

Jawapan Ketiga

Tidak terdapat dalam sunnah Nabi SAW yang luas dan menjadi penjelas kepada kitab Allah, sama ada dalam kitab-kitab hadis sahih, sunan-sunan, musnad-musnad dan mu’jam-mu’jam yang menyebut bahawa Nabi SAW pernah bersabda dan mengajar sahabat-sahabatnya, bahawa tauhid itu terbahagi kepada tauhid uluhiah dan juga rububiah yang telah diketahui oleh orang musyrik.

Sekiranya berkumpul jin dan manusia bersama-sama mereka untuk menetapkan bahawa pembahagian ini adalah datang daripada Nabi SAW dengan isnadnya, sekalipun dengan isnad yang lemah, nescaya mereka tidak akan mampu untuk mendatangkannya walaupun dengan satu jalan.

Jawapan Keempat

Telah tercatat dalam sunnah yang banyak, bahawa dalam dakwah Rasulullah SAW mengajak manusia kepada Allah, Baginda SAW menyeru mereka ke arah penyaksian kalimah syahadah: Tiada Tuhan melainkan Allah dan bahawa Nabi Muhammad adalah pesuruh Allah. Baginda SAW juga mengajak mereka meninggalkan penyembahan berhala.

Di antara hadis yang paling masyhur menyebut tentang perkara ini ialah hadis Muaz ibnu Jabal r.a. Ketika beliau diutuskan oleh Nabi SAW ke Yaman, Baginda SAW bersabda kepadanya: Serulah mereka kepada penyaksian “Bahawa tiada Tuhan melainkan Allah dan bahawa Nabi Muhammad adalah pesuruh Allah”. Sekiranya mereka mentaatinya, maka hendaklah kamu khabarkan kepada mereka bahawa diwajibkan ke atas mereka solat lima waktu sehari semalam. (riwayat al-Bukhari dalam Sahihnya)

Diriwayatkan oleh pengarang kitab Sunan dan Ibnu Hibban, bahawa seorang Arab Badawi memberitahu Rasulullah SAW bahawa dia telah melihat anak bulan. Lantas Rasulullah SAW memerintahkan supaya berpuasa dan Baginda SAW tidak menyoalnya melainkan tentang pengakuannya terhadap kalimah syahadah. (diriwayatkan oleh Abu Daud, al Nasaei, al Tirmizi dan lain-lain)

Sekiranya tauhid itu terbahagi kepada tiga bahagian sebagaimana yang mereka perkatakan, maka sudah tentulah Nabi SAW menyeru sekelian manusia kepada tauhid uluhiah yang tidak mereka ketahui dan bukannya tauhid rububiah kerana mereka telah mengetahuinya.

Demikian juga, perlulah Baginda SAW bersabda kepada Muaz r.a, “Serulah mereka kepada tauhid uluhiah,” dan Baginda SAW bertanya terlebih dahulu kepada orang Arab Badawi yang melihat anak bulan Ramadan, “Adakah kamu mengetahui tentang tauhid uluhiah dan perbezaan di antara tauhid ini dengan tauhid rububiah, dan adakah kamu mengetahui tauhid asma’ dan sifat?”

Jawapan Kelima

Di dalam kitab Allah yang ternyata tidak dicemari dengan kebatilan, tidak membezakan di antara tauhid uluhiah dan tauhid rububiah.

Begitu juga tidak dikatakan kepada mereka: Sesiapa yang tidak mengetahui tauhid uluhiahtidak dikira imannya, bahkan dia adalah lebih kafir daripada Firaun dan Haman. Tetapi Allah SWT memerintahkan dengan kalimah tauhid secara mutlak sebagaimana firman Allah SWT kepada Nabi-Nya dalam surah Muhammad ayat 19: Ketahuilah, bahawasanya tiada Tuhan melainkan Allah. Begitu jugalah dengan keseluruhan ayat tauhid yang disebut di dalam al-Quran.

Sekiranya kamu kehendaki, maka bacalah surah al-Ikhlas yang menyamai sepertiga al-Quran. Adakah kamu mendapati di dalamnya ayat yang membezakan di antara uluhiah dan rububiah sebagaimana yang mereka sangkakan?

Jawapan Keenam

Melalui pembahagian yang direka ini, memberi kefahaman kepada kita, seolah-olah Allah masih belum lagi menyempurnakan agama-Nya. Kemudian, datang seseorang yang kononnya untuk menyempurnakan agama Allah yang masih lagi mempunyai kekurangan dan menjelaskan tentang tauhid dan pembahagiannya kepada manusia pada kurun ke-7 Hijrah.

Pada kurun ini, lahirnya pembahagian tauhid uluhiah, rububiah, asma’ dan sifat yang dicetuskan oleh Ibnu Taimiyyah (661- 724 H). Seolah-olah semua umat tidak mengetahui tentang apa yang diperkenalkan oleh pemuka-pemuka pembahagian tauhid rekaan ini.

Selepas kita mengetahui jawapan daripada soalan pertama ini, yakinlah kita dengan sempurna bahawa tauhid ini tidak mempunyai sumber yang sah daripada al-Quran dan hadis.

Ia menunjukkan bahawa pembahagian ini hanyalah rekaan semata-mata. Persoalan kedua akan dikemukakan pada minggu hadapan, insya-Allah.

Sumber:

http://yayasansofa.com/v1/?p=39

Sambungan

— 07/12/2009 9:36 am
Tauhid uluhiah dan rububiah

Oleh PANEL PENYELIDIKAN YAYASAN SOFA

Menyorot ruangan Relung Cahayaminggu lepas, kita telah pun mempersoalkan dan membincangkan secara ringkas tentang sumber tauhid tiga serangkai ini.

Setelah kita mengetahui dengan jelas bahawa pembahagian tauhid kepada tiga ini tidak mempunyai sumber yang sahih di sisi syarak, maka pada minggu ini kami ingin mengajak pembaca menghalusi lagi penelitian tentang permasalahan ini agar kebenaran akan terserlah dan kebatilan akan terpadam.

Memandangkan pereka tauhid bidaah ini mengklasifikasikan tauhid kepada tiga, maka kami ingin mengemukakan persoalan, apakah terdapat perbezaan di antara tauhid uluhiah dan rububiah?
Sebelum persoalan ini dijawab, kami ingin berkongsi dengan pembaca tentang jawapan ringkas melalui e-mel yang kami terima daripada seorang pembaca yang pro-tauhid tiga serangkai ini.

Namun, jawapan yang mewakili penghantar tidak menjawab persoalan yang diutarakan pada minggu lepas.

Beliau hanya mengemukakan hujah hasil dari pemikiran Ibnu Taimiyyah seperti yang dapat dilihat di dalam kitab-kitabnya, sedangkan hujah Ibnu Taimiyyah ini telah lama disangkal oleh ulama ahli sunnah.

Perlu kita fahami, tidak semua ilmu yang diformulasikan atau semua hasil istiqra’ (telaah) atau pemikiran seseorang itu boleh diterima jika tidak sejajar dengan al-Quran dan sunnah.

Apatah lagi, ilmu yang berkaitan dengan akidah yang mesti dirujuk dengan rapi dan betul kepada sumber yang sahih lagi mutawatir. Jika wujud kepincangan, maka ia tertolak sama sekali.

Kepincangan itu telah pun dibincangkan oleh ulama dan telah pun kami paparkan dan akan kami sebutkan, insya-Allah.

Menurut penghantar e-mel itu lagi, mengingkari tauhid tiga ini bererti tidak bertafaqquh terhadap kitab Allah, tidak mengetahui kedudukan Allah, mengetahui sebahagian dan tidak mengetahui sebahagian yang lainnya.

Dengan spontan benak hati kami bertanya, inikah jawapan yang sepatutnya kami peroleh daripada seseorang yang merasa telah bertafaqquh dengan kitab Allah?

Kami juga agak terkejut dengan kenyataan ini. Jika mereka yang mengingkari tauhid tiga ini dianggap tidak bertafaqquh dengan kitab Allah, bagaimanakah kedudukan ulama dan para sarjana yang telah saya sebutkan pada siri pertama yang mengingkari pembahagian tauhid ini?

Apakah al-Azhar, sebuah universiti yang diiktiraf oleh dunia Islam, mempunyai ulama dan tokoh-tokoh yang lemah kefahamannya tentang kitab Allah? Bagaimana pula dengan Mufti Mesir yang telah menafikan dengan lantang perkara ini di dalam fatwanya?

Apa pun jawapan yang dikemukakan oleh pro tauhid tiga serangkai ini, ia telah kami rujuk di dalam kitab asalnya yang sememangnya tersimpan kemas di perpustakaan kami.

Ramai ulama yang telah menjawabnya, cuma pada keluaran kali ini kami tidak berkesempatan untuk menyertakannya.
Sebaiknya kita tinggalkan dahulu tajuk ini dan kembali kepada persoalan hari ini.

Kenapa soalan ini dikemukakan dan sebelum persoalan ini dijawab, kami ingin nyatakan di sini bahawa melalui tauhid tiga serangkai ini didapati perekanya, Ibnu Taimiyyah dan pengikut-pengikutnya telah menyatakan bahawa:

1. Orang musyrik atau orang yang menyekutukan Allah adalah ahli tauhid (orang yang mengesakan Allah) dengan tauhid rububiah.

2. Tauhid orang musyrik ini samalah dengan tauhid sebahagian orang Islam yang bertawassul, beristighathah dan bertabarruk dengan para nabi dan orang-orang soleh.

Ini bermaksud orang Islam yang bertawassul (memohon kepada Allah melalui perantaraan), beristighathah (menyeru minta tolong) dan bertabarruk (ambil berkat) samalah dengan orang musyrik kerana tidak memiliki tauhid uluhiah kerana dianggap menyembah apa yang ditawassulkan.

Kenyataannya berbunyi: “Tauhid rububiah sahaja tidak menafikan kekufuran seseorang dan tidak mencukupi bagi keimanan/keislaman seseorang”. (Risalah Ahli al Suffah H: 34.)

“Sesungguhnya orang-orang musyrik adalah ahli tauhid dengan tauhid rububiah. Mereka tidak termasuk dari kalangan ahli tauhid uluhiah kerana telah mengambil sembahan-sembahan yang lain untuk mendekatkan diri mereka kepada Allah SWT”.

Mereka juga menyatakan: “Sesungguhnya orang-orang Islam yang bertawassul dan beristighathah dengan para Nabi dan orang-orang soleh serta bertabarruk dengan mereka (para nabi dan orang-orang soleh), adalah kufur. Bahkan, kekufuran mereka lebih dahsyat daripada kekufuran Abu Lahab, Firaun, Haman dan lain-lain”. (Fatawa Ibni Taimiyyah 14/380).

Ini adalah antara kenyataan yang tidak ditulis dan tidak ditemui di dalam kebanyakan kitab-kitab berkaitan pembahagian tauhid ini di Malaysia.

Di negara kita, tauhid ini masih berada dalam peringkat pengenalan. Tetapi jika kita merujuk kepada kitab Ibnu Taimiyyah, Muhammad ibn Abdul Wahhab dan pemuka-pemukanya, kenyataan ini banyak ditulis di dalam kitab-kitab mereka. Inilah natijah sebenar yang akan kita dapati dari pembahagian tauhid ini.

Oleh kerana itu, kita dapati di kebanyakan negara timur tengah yang telah lama memakai tauhid ini berlaku pergolakan, perpecahan dan pembunuhan akibat gejala sembarangan mengkafirkan dan menghalalkan darah umat Islam yang dianggap menyanggahi tauhid ini.

Malah, dengan tauhid inilah menyebabkan berlakunya keruntuhan kepada Empayar Uthmaniyyah yang merupakan empayar terbesar Islam suatu ketika dahulu. Insya-Allah, perinciannya akan kami susuli pada keluaran akan datang.

Apa yang pasti, kenyataan Ibnu Taimiyyah ini jelas bertentangan dengan dalil-dalil syarak dan telah diketahui secara dharuri di sisi ulama.

Bagi menjelaskan tentang kesalahan dan kebatilan pendapat mereka ini, maka soalan ini dijawab: Sesungguhnya tidak ada perbezaan di antara tauhid uluhiah dan tauhid rububiah.

Kedua-duanya adalah perkara yang sama dan tidak boleh dipisahkan serta tidak menerima sebarang pembahagian. Allah tidak menerima daripada hamba-hamba-Nya, melainkan akidah tauhid yang tulus dan suci kepada-Nya, Tuhan sekelian alam, yang dilafazkan dengan lidah, diiktikad dengan hati, diamalkan dengan anggota jasad dan dimanifestasikan dengan kalimah (Laa Ilaaha Illallah).

Dengan perkara inilah, semua Nabi dan Rasul diutuskan.
Adakah orang kafir ahli tauhid?
Terhadap pendapat yang menyatakan bahawa orang kafir dan musyrik sejak zaman berzaman adalah ahli tauhid dengan tauhid rububiah dan para Rasul a.s tidak diutuskan melainkan dengan tauhid uluhiah.

Jawabnya: Hakikatnya, pendapat ini merupakan suatu perkara yang telah menutup pintu kebenaran dan hakikat, menyalahi akal dan syarak dan mendustai penjelasan daripada nas-nas al-Quran dan sunnah.

Perkara ini juga merupakan perkara bidaah yang sesat dan tidak terdapat pada umat salaf yang terawal. Tauhid seperti ini meruntuhkan akidah dan bersifat saling bercanggah.

Dalam satu masa, mereka telah menjadikan sekelompok orang Islam sebagai ahli tauhid dan bukan ahli tauhid. Ini suatu perkara yang pelik.

Sedangkan, realitinya ialah seseorang itu mesti berada di salah satu kedudukan, iaitu sama ada berada dalam kedudukan ahli tauhid atau pun musyrik. Tidak boleh seseorang itu berada di antara dua keadaan (tauhid dan kufur).

Kepercayaan mereka juga tentang ketauhidan orang musyrik dengan tauhid rububiah tidaklah benar. Bahkan dakwaan ini adalah suatu penipuan yang ditolak sama sekali oleh akal dan naqal.
Insya-Allah, kami akan mengemukakan dalil-dalil dari akal dan naqal pada minggu hadapan.

Sesungguhnya perkara yang paling pelik ialah menganggap orang kafir sebagai ahli tauhid dan menganggap orang Islam yang telah mengucapkan kalimah tauhid sebagai bukan ahli tauhid.

Renungilah! Berfikir sesaat lebih baik daripada beribadat 70 tahun. Ibadah Abu Darda’ r.a yang paling utama selepas melaksanakan kefarduan ialah bertafakur kerana dengannya dia sampai kepada hakikat suatu perkara dan membezakan di antara yang hak dan batil.

Bahkan, dengannya juga dia dapat menilik kerosakan dan helah nafsu yang halus, tipu daya dunia, dan mengenali helah-helah untuk lebih berwaspada dengannya.

Sumber:
http://yayasansofa.com/v1/?p=35
Mengapa tauhid tiga serangkai?SocialTwist Tell-a-Friend

PARA NABI BUKAN MANUSIA BIASA

.
— 18/10/2011 2:08 pm
PARA NABI BUKAN MANUSIA BIASA

Oleh: Panel Penyelidik Yayasan Sofa

Meskipun para nabi dari kalangan manusia; yang juga makan, minum, kadangkala sihat, kadangkala sakit, menikahi perempuan-perempuan, berjalan-jalan di pasar-pasar, terdedah kepada gejala-gejala penyakit yang biasa dialami oleh manusia biasa seperti lemah, tua dan juga kematian, tetapi sesungguhnya mereka berbeza dengan pelbagai keistimewaan dan sifat-sifat agung serta mulia. Sifat-sifat itu pula merupakan suatu yang amat lazim dan penting bagi mereka. Sifat-sifat mulia tersebut, secara ringkasnya adalah seperti berikut, Siddiq (jujur), Tabligh (menyampaikan amanah), Amanah, Fatonah (bijaksana), Bebas daripada keaiban yang membuatkan manusia lari daripadanya, ‘Ismah(terpelihara daripada melakukan dosa).

Di sini, kita tidak menjelaskan secara terperinci mengenai sifat-sifat ini. Ia telah pun dijelaskan dengan terperinci di dalam kitab-kitab Tauhid. Kita akan bicarakan di sini, tentang sifat-sifat dan keistimewaan Penghulu segala Rasul, Muhammad SAW untuk membuktikan bahawa walaupun Baginda SAW adalah manusia tetapi sekali-kali tidaklah sama dengan manusia biasa. Kerana kesuntukan ruang, kita hanya akan menyentuhnya dengan ringkas sahaja.

1. Rasulullah SAW Melihat Orang Yang Berada Di Belakangnya, Seperti Melihat Orang Yang berada Di Hadapannya.

Diriwayatkan oleh al-Syaikhan (al-Bukhari dan Muslim) daripada Abu Hurairah t, bahawa Rasulullah SAW bersabda:“Adakah kamu dapat melihat Kiblatku di sini? Demi Allah! Ruku’ dan sujud kamu tidak sekali-kali terselindung daripada penglihatanku. Sesungguhnya aku melihat kamu dari belakangku.” 

2. Rasulullah SAW Melihat dan Mendengar Apa Yang Kita Tidak Dapat Lihat dan Dengar

Daripada Abu Zar RA berkata, Rasulullah SAW bersabda:“Sesungguhnya aku dapat melihat apa yang kamu tidak lihat dan aku mendengar apa yang kamu tidak dengar. Langit merintih dan memang ia mempunyai hak untuk merintih. Tidak ada padanya (langit itu) walau selebar empat jari melainkan ada malaikat meletakkan dahinya sujud kepada Allah. Demi Allah! Sekiranya kamu mengetahui apa yang aku ketahui, pasti kamu akan sedikit ketawa dan banyak menangis, kamu tidak akan bersedap-sedap dengan isteri-isteri di atas ranjang dan kamu pasti akan keluar menuju ke jalan-jalan untuk tunduk memohon pertolongan kepada Allah.”

3. Nabi Muhammad SAW Terpelihara Daripada Menguap

Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam al-Tarikh, dan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Musannaf, serta Ibnu Sa’ad daripada Yazid ibn al-Asom, berkata: “Nabi Muhammad SAW tidak pernah menguap sama sekali.”

4. Peluh Nabi SAW Yang Mulia.

Imam Muslim meriwayatkan daripada Anas RA berkata: “Rasulullah SAW pernah datang kepada kami lalu tidur sebentar (qailulah) di tempat kami. Baginda SAW berpeluh (semasa tidur). Ibuku datang membawa sebuah botol kaca lalu menadah peluh Rasulullah SAW yang mengalir itu. Rasulullah SAW pun terjaga lalu bersabda, “Wahai Ummu Sulaim! Apakah yang engkau lakukan?” Dia menjawab, “Peluh ini akan kita jadikan minyak wangi kita, ia adalah wangian yang paling harum!”

5. Ketinggian Rasulullah SAW 

Diriwayatkan oleh Ibnu Khaithamah di dalam Tarikhnya, Imam Baihaqi dan Ibnu ‘Asakir, daripada ‘Aisyah RA, beliau berkata: “Rasulullah SAW tidak terlalu tinggi dan tidak pula terlalu rendah. Baginda SAW kelihatan berperawakan sederhana jika berjalan sendirian. Tiada seseorang yang berjalan bersama Rasulullah SAW (kelihatan) lebih tinggi, melainkan Baginda SAW melebihi ketinggian mereka. Jika ada dua orang lelaki yang tinggi bersamanya, Baginda SAW tetap kelihatan lebih tinggi daripada mereka. Tetapi, jika mereka berpisah darinya, Rasulullah SAW  kelihatan berketinggian sederhana.

6. Bayang-bayang Rasulullah SAW

Al-Hakim al-Tirmizi meriwayatkan daripada Zakwan: “Sesungguhnya Rasulullah SAW itu tidak mempunyai bayang-bayang; sama ada ketika berada di bawah sinar matahari, mahupun bulan.”

7. Terhindar Daripada Lalat

Al-Qadhi ‘Iyadh RH menyebut di dalam al-Syifa, dan al-‘Azafi di dalam Maulidnya: “Di antara keistimewaan Nabi Muhammad SAW, lalat tidak pernah menghinggapi Baginda SAW.” Ia juga disebutkan oleh Ibnu Sabu’ dalam al-Khasa’is, dengan lafaz:  “Sesungguhnya lalat tidak pernah hinggap pada pakaiannya.”Beliau menambah: “Sesungguhnya di antara keistimewaan Rasulullah SAW, kutu tidak pernah menggigitnya.”

8. Darah Rasulullah SAW

Diriwayatkan oleh al-Bazzar, Abu Ya’la, al Tabrani, al Hakim dan al Baihaqi daripada Abdullah ibn al Zubair: “Bahawa dia pernah datang menemui Rasulullah S ketika sedang dibekam. Setelah selesai dibekam, Rasulullah S pun bersabda, ”Wahai Abdullah! Pergilah kamu dengan membawa darah ini dan buanglah ia di suatu tempat yang tiada sesiapa pun melihat kamu.” Tetapi dia meminum darah itu. Apabila pulang, Rasulullah SAW bertanya, “Wahai Abdullah! Apakah yang telah kamu lakukan (terhadap darahku itu)?” Jawabnya, “Aku telah meletakkannya di tempat yang tersorok yang aku ketahui ia sememangnya tersembunyi daripada pengetahuan orang.” Rasulullah SAW bersabda, “Kemungkinan kamu telah meminumnya.” Kataku, “Ya!” Rasulullah SAW bersabda, “Celakalah manusia daripada kamu dan terselamatlah kamu daripada manusia.” Maka mereka berpendapat kekuatan Abdullah RA adalah disebabkan dari darah yang diminumnya itu.”

9. Tidur Rasulullah SAW

Dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim, daripada Sayyidah Aisyah RA bertanya kepada Baginda SAW: “Wahai Rasulullah! Adakah kamu akan tidur sebelum solat witir?” Maka jawab Rasulullah SAW, “Wahai Aisyah! Kedua mataku tidur tetapi hatiku tidak tidur.”
Kesimpulan yang kita perolehi dalam perbincangan ini, ternyata keistimewaan Nabi Muhammad SAW adalah sangat banyak. Tidak dinafikan bahawa sebahagian daripada hadith yang dipetik dalam bab ini diperselisihkan oleh ulama’, kerana sebahagian mereka menilai bahawa hadith-hadith mengenainya adalah sohih dan sebahagian ulama’ yang lain melihat ia tidak sohih. Oleh yang demikian, ia termasuk di dalam permasalahan khilafiah. Tetapi jika dinilai secara menyeluruh masih tidak menafikan kesimpulan bahawa Nabi kita SAW dan para Nabi AS adalah manusia-manusia yang istimewa dan bukannya manusia biasa.

http://yayasansofa.com/v1/?p=405
PARA NABI BUKAN MANUSIA BIASASocialTwist Tell-a-Friend

Popular Posts

Segala bahan bacaan disini adalah untuk umum dan HAK CIPTA ITU MILIK ALLAH SEMUANYA. Anda boleh ambil sebagai bahan rujukan ataupun bahan posting di blog-blog atau website anda TANPA PERLU MEMBERI SEBARANG KREDIT KEPADA BLOG INI.