(Lembaga Fatwa
Mesir)
Apa hukum
menambahkan kata "sayyidina" sebelum nama Nabi Muhammad saw., serta
para ahlul bait dan wali-wali Allah yang saleh?
Jawapan: Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum'ah Muhammad (Mufti
Mesir)
Nabi Muhammad
saw. adalah sayyid (penghulu/pemimpin) seluruh makhluk. Hal ini berdasarkan
ijmak seluruh kaum muslimin. Nabi saw. sendiri telah menjelaskan hal itu dalam
sabda beliau.
"Saya
adalah sayyid (penghulu) anak Adam."
Dalam riwayat
lain,
"Saya
adalah sayyid (penghulu) manusia." (Muttafaq alaih).
Di dalam
Alquran, Allah SWT memerintahkan umat Islam untuk menghormati dan mengagungkan
beliau. Allah berfirman,
"Sesungguhnya
Kami mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi
peringatan, supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan
(agama)Nya, membesarkan-Nya. Dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan
petang." (Al-Fath: 8-9).
Salah satu
bentuk penghormatan dan pengagungan ini adalah dengan menyebutnya sebagai
sayyid. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Qatadah dan Suddi, "Makna
tuwaqqiruhu (memuliakannya) adalah tusawwiduhu
(mensayyidkannya/memuliakannya)."
Para sahabat
juga telah menggunakan kata ini dalam perbincangan mereka. Diriwayatkan dari
Sahl bin Hunaif r.a.,dia berkata, "Pada suatu hari kami melewati suatu
aliran air. Saya lalu menceburkan diri kedalamnya dan mandi di sana. Ketika
selesai saya terkena demam. Keadaan saya itu lalu diceritakan kepada Rasulullah
saw., maka beliau bersabda,
"Suruhlah
Abu Tsabit untuk berta'awudz." Lalu saya bertanya kepada beliau,
"Wahai Sayyidi, apakah ruqyah itu bermanfaat?" Beliau menjawab, "Tidak
boleh melakukan ruqyah kecuali kerana ‘ain, sengatan haiwan beracun dan
sengatan kalajengking.” (HR. Ahmad dan Hakim. Hakim berkata, “Sanadnya
shahih.”).
Para sahabat
juga menggunakan kata “sayyid” ini dalam lafaz salawat yang mereka ucapkan.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud r.a., dia berkata, “jika kalian mengucapkan
salawat kepada Rasulullah saw. maka gunakanlah kata-kata yang baik. Kerana
kalian tidak tahu mungkin saja salawat itu dihadapkan kepada beliau.” Para
murid Ibnu Mas’ud lalu berkata, “Kalau begitu ajarilah kami kata-kata yang
tepat untuk bersalawat.” Ibnu Mas’ud menjawab, “Katakanlah, “Ya Allah,
jadikanlah salawat-Mu, rahmat-Mu dan keberkatan-Mu untuk sayyid (penghulu) para
Rasul, pemimpin orang-orang yang bertakwa dan penutup para nabi, Muhammad,
hamba-Mu dan rasul-Mu, pemimpin kebaikan, panglima kebaikan, rasul pembawa
rahmat,….” (HR. Ibnu Majah dan dihasankan oleh Mundziri).
Riwayat yang
sama juga diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. oleh Ahmad bin Mani’ dalam
musnadnya, dan dia menghukuminya sebagai hadis hasan dengan syawahidnya
(penguat-penguatnya).
Adapun
penyebutan kata sayyid untuk para makhluk yang lain selain Nabi saw., maka hal
itu juga disyariatkan berdasarkan nash Alquran, Sunnah dan perbuatan umat
secara terus menerus tanpa ada pengingkaran terhadapnya. Dalam Alquran,
penjelasan mengenai hal ini disebutkan dalam firman Allah,
“Kemudian
Malaikat (Jibril) memanggil Zakariya, sedang ia tengah berdiri melakukan salat
di mihrab (katanya), ‘Sesungguhnya Allah mengembirakan kamu dengan kelahiran
(seorang putramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah,
menjadi ikutan, menahan diri (dari hawa nafsu) dan seorang Nabi termasuk
keturunan orang-orang saleh.” (Ali ‘Imran: 39).
Imam Qurthubi
berkata, “Ayat ini menjelaskan kebolehan penamaan seseorang dengan kata sayyid,
sebagaimana kebolehan pemberian nama seseorang dengan aziz atau karim.”
Disebutkan juga
dalam Alquran,
“Kedua-duanya
mendapati suami wanita itu di muka pintu”. (Yusuf: 25).
Sedangkan dalam
Sunnah, Nabi saw. pernah bersabda mengenai
Hasan dan Husein radhiyallahu ‘anhuma,
“Hasan dan
Husein adalah sayyid (penghulu) para pemuda syurga.” (HR. Tirmidzi dan Hakim.
Keduanya menshahihkan hadis ini).
Rasulullah saw.
juga pernah bersabda mengenai Hasan bin Ali,
“Sesungguhnya
cucuku ini adalah sayyid.” (HR. Bukhari).
Juga sabda
Rasulullah saw. kepada Fatimah a.s.,
"Wahai Fatimah,
apakah kamu tidak rela untuk menjadi sayyidah (penghulu) para wanita syurga.”
(HR. Bukhari).
Sabda beliau
mengenai Saad bin Muadz r.a.,
“Sambutlah
sayyid (pemimpin) kalian.” (HR Bukhari).
Rasulullah saw.
juga pernah bersabda kepada Bani Salamah,
“Siapakah sayyid
(pemimpin) kalian, wahai Bani Salamah?”
Mereka menjawab,
“Sayyid kami adalah Jadd bin Qals. Hanya saja kami menganggapnya sebagai orang
yang pelit(kikir/lokek).”
Beliau berkata, “Penyakit
mana yang lebih merusak dari pelit? Yang tepat, sayyid kalian adalah ‘Amr bin
Jamuh.” (HR. Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad).
Dalam riwayat
lain,
“Sayyid kalian
adalah Bisyr bin Barra’ bin Ma’rur.” (HR. Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir).
Dan masih banyak
lagi dalil yang menyebutkan mengenai kebolehan menyebut sayyid kepada para
makhluk.
Adapun perbuatan
umat yang terus menerus, misalnya adalah ucapan Umar mengenai Abu Bakar dan
Bilal, “Abu Bakar adalah sayyid kami dan telah memerdekakan sayyid kami.” (HR.
Bukhari). Juga perkataan Ali mengenai anaknya, Hasan, “sesungguhnya anakku ini
adalah sayyid sebagaimana dikatakan oleh Nabi saw.” (HR. Abu Dawud).
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah r.a. bahwa dia berkata Hasan bin Ali, “Wahai sayyidku.” Lalu
seseorang bertanya, padanya, “Kamu mengatakan, ‘Wahai sayyidku?’ Abu Hurairah
menjawab, “Saya mendengar Rasulullah saw. mengatakan bahwa dia adalah sayyid.”
(HR. Nasa’i dalam ‘Amal al-Yaum wal-Lailah).
Penyebutan-penyebutan
ini dengan tanpa adanya pengingkaran dari para sahabat yang lain menjadi ijmak sukuti(al-Iqrari). Dan ijmak sukuti itu adalah salah
satu dalil syarak, sebagaimana dijelaskan dalam ilmu Ushul Fikih. Sejak zaman
dahulu, umat Islam telah terbiasa memberi gelar sayyid kepada para keluarga
Nabi saw. (ahlul bait) yang berasal dari keturunan Hasan dan Husein a.s..
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud r.a. dia berkata, “Sesuatu yang menurut kaum
muslimin adalah perbuatan baik, maka menurut Allah itu adalah baik. Dan sesuatu
yang menurut kaum muslimin adalah perbuatan buruk, maka menurut Allah itu
adalah buruk.” (HR. ahmad).
Dengan demikian,
penyebutan kata sayyid kepada para ahlul bait dan para wali Allah adalah
perbuatan yang disyariatkan, bahkan dianjurkan kerana mengandungi sikap sopan
santun, penghormatan dan pemuliaan terhadap mereka. Nabi saw. pernah bersabda,
“Bukan termasuk
golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang
lebih kecil serta mengetahui hak ulama.” (HR. Ahmad dan Hakim serta dia
shahihkan dari Ubadah bin Shamit r.a.).
Wallahu
subhanahu wa ta’ala a’lam.
Sumber: Lembaga Fatwa Mesir
0 comments:
Post a Comment