.
(Habib Munzir Al-Musawa)
AYAT TASYBIH
Mengenai ayat
mutasyabih yg sebenarnya para Imam dan Muhadditsin selalu berusaha
menghindari untuk membahasnya, namun justru sangat digandrungi oleh
sebagian kelompok muslimin sesat masa kini, mereka selalu mencoba
menusuk kepada jantung tauhid yg sedikit saja salah memahami maka akan
terjatuh dalam jurang kemusyrikan, seperti membahas bahwa Allah ada
dilangit, mempunyai tangan, wajah dll yg hanya membuat kerancuan dalam
kesucian Tauhid ilahi pada benak muslimin, akan tetapi karena semaraknya
masalah ini diangkat ke permukaan, maka perlu kita perjelas mengenai
ayat ayat dan hadits tersebut.
Sebagaimana makna Istiwa, yg
sebagian kaum muslimin sesat sangat gemar membahasnya dan mengatakan
bahwa Allah itu bersemayam di Arsy, dengan menafsirkan kalimat ”ISTIWA”
dengan makna ”BERSEMAYAM atau ADA DI SUATU TEMPAT” , entah darimana pula
mereka menemukan makna kalimat Istawa adalah semayam, padahal tak
mungkin kita katakan bahwa Allah itu bersemayam disuatu tempat, karena
bertentangan dengan ayat ayat dan Nash hadits lain, bila kita mengatakan
Allah ada di Arsy, maka dimana Allah sebelum Arsy itu ada?, dan berarti
Allah membutuhkan ruang, berarti berwujud seperti makhluk, sedangkan
dalam hadits qudsiy disebutkan Allah swt turun kelangit yg terendah saat
sepertiga malam terakhir, sebagaimana diriwayatkan dalam Shahih Muslim
hadits no.758, sedangkan kita memahami bahwa waktu di permukaan bumi
terus bergilir,
maka bila disuatu tempat adalah tengah malam,
maka waktu tengah malam itu tidak sirna, tapi terus berpindah ke arah
barat dan terus ke yang lebih barat, tentulah berarti Allah itu selalu
bergelantungan mengitari Bumi di langit yg terendah, maka semakin
ranculah pemahaman ini, dan menunjukkan rapuhnya pemahaman mereka,
jelaslah bahwa hujjah yg mengatakan Allah ada di Arsy telah bertentangan
dg hadits qudsiy diatas, yg berarti Allah itu tetap di langit yg
terendah dan tak pernah kembali ke Arsy, sedangkan ayat itu mengatakan
bahwa Allah ada di Arsy, dan hadits Qudsiy mengatakan Allah dilangit yg
terendah.
Berkata Al hafidh Almuhaddits Al Imam Malik
rahimahullah ketika datang seseorang yg bertanya makna ayat :
”Arrahmaanu ’alal Arsyistawa”, Imam Malik menjawab : ”Majhul, Ma’qul,
Imaan bihi wajib, wa su’al ’anhu bid’ah (tdk diketahui maknanya, dan
tidak boleh mengatakannya mustahil, percaya akannya wajib, bertanya
tentang ini adalah Bid’ah Munkarah), dan kulihat engkau ini orang jahat,
keluarkan dia..!”, demikian ucapan Imam Malik pada penanya ini, hingga
ia mengatakannya : ”kulihat engkau ini orang jahat”, lalu mengusirnya,
tentunya seorang Imam Mulia yg menjadi Muhaddits Tertinggi di Madinah
Almunawwarah di masanya yg beliau itu Guru Imam Syafii ini tak sembarang
mengatakan ucapan seperti itu, kecuali menjadi dalil bagi kita bahwa
hanya orang orang yg tidak baik yg mempermasalahkan masalah ini.
Lalu
bagaimana dengan firman Nya : ”Mereka yg berbai’at padamu sungguh
mereka telah berbai’at pada Allah, Tangan Allah diatas tangan mereka”
(QS Al Fath 10), dan disaat Bai’at itu tak pernah teriwayatkan bahwa ada
tangan turun dari langit yg turut berbai’at pada sahabat.
Juga
sebagaimana hadits qudsiy yg mana Allah berfirman : ”Barangsiapa
memusuhi waliku sungguh kuumumkan perang kepadanya, tiadalah hamba Ku
mendekat kepada Ku dengan hal hal yg fardhu, dan Hamba Ku terus mendekat
kepada Ku dengan hal hal yg sunnah baginya hingga Aku mencintainya,
bila Aku mencintainya maka aku menjadi telinganya yg ia gunakan untuk
mendengar, dan menjadi matanya yg ia gunakan untuk melihat, dan menjadi
tangannya yg ia gunakan untuk memerangi, dan kakinya yg ia gunakan untuk
melangkah, bila ia meminta pada Ku niscaya kuberi permintaannya....”
(shahih Bukhari hadits no.6137)
Maka hadits Qudsiy diatas tentunya
jelas jelas menunjukkan bahwa pendengaran, penglihatan, dan panca indera
lainnya, bagi mereka yg taat pada Allah akan dilimpahi cahaya kemegahan
Allah, pertolongan Allah, kekuatan Allah, keberkahan Allah, dan sungguh
maknanya bukanlah berarti Allah menjadi telinga, mata, tangan dan
kakinya.
Masalah ayat/hadist tasybih (tangan/wajah) dalam ilmu tauhid terdapat dua pendapat dalam menafsirkannya.
1.Pendapat Tafwidh ma’a tanzih
2.Pendapat Ta’wil
1.
Madzhab tafwidh ma’a tanzih yaitu mengambil dhahir lafadz dan
menyerahkan maknanya kpd Allah swt, dg i’tiqad tanzih (mensucikan Allah
dari segala penyerupaan)
Ditanyakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal
masalah hadist sifat, ia berkata ”Nu;minu biha wa nushoddiq biha bilaa
kaif wala makna”, (Kita percaya dg hal itu, dan membenarkannya tanpa
menanyakannya bagaimana, dan tanpa makna) Madzhab inilah yg juga di
pegang oleh Imam Abu hanifah.
dan kini muncullah faham
mujjassimah yaitu dhohirnya memegang madzhab tafwidh tapi menyerupakan
Allah dg mahluk, bukan seperti para imam yg memegang madzhab tafwidh.
2.
Madzhab takwil yaitu menakwilkan ayat/hadist tasybih sesuai dg keesaan
dan keagungan Allah swt, dan madzhab ini arjah (lebih baik untuk
diikuti) karena terdapat penjelasan dan menghilangkan awhaam (khayalan
dan syak wasangka) pada muslimin umumnya, sebagaimana Imam Syafii, Imam
Bukhari,Imam Nawawi dll. (syarah Jauharat Attauhid oleh Imam Baajuri)
Pendapat
ini juga terdapat dalam Al Qur’an dan sunnah, juga banyak dipakai oleh
para sahabat, tabiin dan imam imam ahlussunnah waljamaah.
seperti ayat :
”Nasuullaha fanasiahum” (mereka melupakan Allah maka Allah pun lupa dengan mereka) (QS Attaubah:67),
dan ayat : ”Innaa nasiinaakum”. (sungguh kami telah lupa pada kalian QS Assajdah 14).
Dengan
ayat ini kita tidak bisa menyifatkan sifat lupa kepada Allah walaupun
tercantum dalam Alqur’an, dan kita tidak boleh mengatakan Allah punya
sifat lupa, tapi berbeda dg sifat lupa pada diri makhluk, karena Allah
berfirman : ”dan tiadalah tuhanmu itu lupa” (QS Maryam 64)
Dan
juga diriwayatkan dalam hadtist Qudsiy bahwa Allah swt berfirman :
”Wahai Keturunan Adam, Aku sakit dan kau tak menjenguk Ku, maka
berkatalah keturunan Adam : Wahai Allah, bagaimana aku menjenguk Mu
sedangkan Engkau Rabbul ’Alamin?, maka Allah menjawab : Bukankah kau
tahu hamba Ku fulan sakit dan kau tak mau menjenguknya?, tahukah engkau
bila kau menjenguknya maka akan kau temui Aku disisinya?” (Shahih Muslim
hadits no.2569)
apakah kita bisa mensifatkan sakit kepada Allah tapi tidak seperti sakitnya kita?
Berkata
Imam Nawawi berkenaan hadits Qudsiy diatas dalam kitabnya yaitu Syarah
Annawawiy alaa Shahih Muslim bahwa yg dimaksud sakit pada Allah adalah
hamba Nya, dan kemuliaan serta kedekatan Nya pada hamba Nya itu, ”wa
ma’na wajadtaniy indahu ya’niy wajadta tsawaabii wa karoomatii indahu”
dan makna ucapan : akan kau temui aku disisinya adalah akan kau temui
pahalaku dan kedermawanan Ku dengan menjenguknya (Syarh Nawawi ala
shahih Muslim Juz 16 hal 125)
Dan banyak pula para sahabat,
tabiin, dan para Imam ahlussunnah waljamaah yg berpegang pada pendapat
Ta’wil, seperti Imam Ibn Abbas, Imam Malik, Imam Bukhari, Imam
Tirmidziy, Imam Abul Hasan Al Asy’ariy, Imam Ibnul Jauziy dll (lihat
Daf’ussyubhat Attasybiih oleh Imam Ibn Jauziy).
Maka jelaslah bahwa
akal tak akan mampu memecahkan rahasia keberadaan Allah swt, sebagaimana
firman Nya : ”Maha Suci Tuhan Mu Tuhan Yang Maha Memiliki Kemegahan
dari apa apa yg mereka sifatkan, maka salam sejahtera lah bagi para
Rasul, dan segala puji atas tuhan sekalian alam” . (QS Asshaffat
180-182).
Walillahittaufiq
Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu,
Wallahu a'lam
0 comments:
Post a Comment